Terkait penembakkan mati ditempat terduga teroris pada Malam Tahun Baru di Tangerang Selatan, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menyatakan kejanggalan yang sering terjadi pada penanganan terduga teroris. “Mengapa harus ditembak mati?” tanyanya retoris kepada mediaumat.com, Jum’at (3/1) melalui sambungan telepon selular.
Menurutnya, polisi dengan segala kemampuan, kelengkapan dan ilmu pengetahuannya sebenarnya mampu menangkap hidup-hidup keenam atau ketujuh orang terduga teroris di Tangerang Selatan. Katakanlah para terduga tersebut bersenjata, toh kenyataannya senjatanya pun jauh di bawah kecanggihan senjata polisi. “Tapi mengapa ditembak mati?” tanyanya lagi.
Lalu muncullah narasi tunggal, daftar ini dan daftar itu, yang kebenarannya bisa iya bisa tidak. “Masalahnya kan tidak terkonfirmasi kepada yang bersangkutan karena sudah ditembak mati,” sesal Ismail.
Ismail dengan nada yang tinggi pun mengingatkan. “Ini terduga teroris lho! Terduga itu artinya baru diduga, artinya bisa iya bisa tidak. Beda dengan tersangka, kalau tersangka itu kan memang berdasarkan penyidikan lalu dituduhkan bahwa dia itu melakukan tindak pidana,” terangnya.
Tetapi meski tersangka —tersangka apa pun juga termasuk tersangka korupsi— kan tidak boleh ditembak. “Ini mengapa baru terduga saja malah langsung ditembak mati? Kalau alasannya si terduga melawan kan sebenarnya bisa dilumpuhkan tanpa harus menembak mati, tembak bius kan bisa!” gugatnya.
Polisi kan lembaga penegak hukum, Ismail mengingatkan, tugasnya menangkap dan membawanya ke pengadilan, bukan lembaga eksekusi yang menembak tanpa proses peradilan. Namun sayangnya, dipengadilan pun belum tentu mendapatkan keadilan seperti halnya yang dialami oleh Ustadz Abu Bakar Baasyir.
“Meski barang bukti dan kesaksian menunjukkan ia tidak bersalah tetapi tetap saja divonis bersalah oleh hakim,” pungkasnya. [mediaumat/duniaterkini.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar