Tampilkan postingan dengan label gaya hidup. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gaya hidup. Tampilkan semua postingan

Plasenta Pada Produk Kosmetika, Halal Kah?

Halal-haram adalah standar bagi seorang muslim. Biasakan dengan gaya hidup halal agar semua aktivitas kita mendapat keberkahan, doa kita dikabulkan dan akhirat kita terselamatkan. Tidak hanya makanan, segala sesuatu yang kita gunakan dan manfaatkan juga haruslah melihat kembali standar di atas.

Tentang plasenta sebagai salah satu substansi kosmetika yang sering kita gunakan,nampaknya perlu kita kritisi. Apa yang menempel pada tubuh kita, termasuk yang mempercantik penampilan kita akan ditanyakan nanti di yaumil hisab.nah, sahabat kita simak yuk bahasan pagi ini tentang penggunaan plasenta dalam kosmetika, dari mana asalnya, fungsi dan status hukumnya dalam pandangan islam.

Plasenta (Jawa: ari-ari; Arab: al-masyiimah) adalah organ yang berfungsi sebagai media nutrisi untuk janin dalam kandungan. Plasenta kaya akan kandungan darah, protein, hormon, dan zat lain yang dibutuhkan bayi sebagai makanan, karena janin belum mampu makan dan minum sebagaimana manusia yang sudah lahir. Untuk mencukupi kebutuhan gizi bagi pertumbuhannya, maka Allah menciptakan plasenta sebagai sumber makanannya. Pemasukan nutrien (zat gizi) ke dalam tubuh si bayi dilakukan melalui saluran plasenta yang bermuara pada pusar.

Awalnya plasenta digunakan dalam farmasi karena plasenta memiliki fungsi luas. Misal untuk terapi immunodefisiensi, kehilangan protein akut akibat luka bakar, infeksi bakteri, dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, plasenta digunakan dalam pembuatan kosmetik karena ekstrak plasenta dapat menjadi sumber protein yang berfungsi memperbaiki elastisitas kulit dan mencegah degenerasi sel.
Kosmetika berplasenta memiliki efek yang signifikan untuk mencegah penuaan kulit, serta mampu meremajakan kulit, mengatasi keriput kulit, menghaluskan dan melembutkan kulit, dan membuat kulit lebih nampak segar sebagaimana layaknya kulit bayi. Produk-produk kosmetika yang mengandung ekstrak plasenta antara lain sabun mandi, lotion pelembab kulit, krim pemutih wajah, dan bedak.

Penggunaan plasenta untuk kosmetika, memiliki beberapa status hukum syariah. hal ini tergantung dari sumber plasenta yang dipakai. Jika plasenta yang digunakan berasal dari plasenta manusia maka hukumnya haram. Sebab plasenta manusia termasuk najis, sesuai kaidah fiqih : Kullu maa`i`in kharaja min al-sabilain najisun illa al-maniy (setiap cairan yang keluar dari dua jalan [dubur dan kemaluan] adalah najis, kecuali mani). (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/64). Padahal memanfaatkan najis dilarang oleh syara’, sesuai firman Allah SWT (artinya): “Maka jauhilah dia [rijsun/najis] agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Ma`idah [5] : 90). Najisnya plasenta ini adalah salah satu pendapat madzhab Syafi’i. Ada pendapat lain dalam madzhab Syafi’i yang menyatakan plasenta itu suci, tidak najis. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 37/282; Imam Nawawi, Al-Majmu’, II/563-564; Imam Syarbaini Khatib, Mughni Al-Muhtaj, I/130; Imam Ramli, Nihayatul Muhtaj, I/98). Namun meski dikatakan tak najis, plasenta manusia tetap tak boleh dimanfaatkan. Sebab bagian tubuh manusia yang telah terpisah atau terpotong, misal tangan yang terpotong karena hukum potong tangan, hanya ada satu perlakuannya, yaitu ditanam (dikuburkan), bukan yang lain, sebagai penghormatan akan kemuliaan manusia (karamah al-insan). Jadi pemanfaatan plasenta manusia tidak boleh karena bertentangan dengan prinsip kemuliaan manusia. (QS Al-Isra` [17] : 70). (Imam Sya’rani, Al-Mizan Al-Kubra, III/139; Al-Fahkhrur Razi, At-Tafsir Al-Kabir, II/89; Imam Qurthubi, Tafsir Qurthubi, II/229; Ibnu Hazm, Al-Muhalla, V/117; Imam Nawawi, Al-Majmu’, III/139. Dikutip oleh Ahmad Syarafuddin, Al-Ahkam Al-Syar’iyah Li Al-A’mal Al-Thibbiyah, hlm. 102).

Jika plasenta yang dipakai berasal dari plasenta hewan maka hukumnya boleh, dengan dua syarat; pertama, hewannya suci dan halal dimakan, seperti sapi. Maka tak boleh menggunakan plasenta dari hewan najis dan haram dimakan, seperti babi.  Kedua, hewannya telah mati melalui cara penyembelihannya yang syar’i. Sebab organ yang terpisah dari hewan yang masih hidup, adalah bangkai yang najis. Dalilnya sabda Nabi SAW, ”Apa saja bagian yang dipotong dari binatang ternak, sedang binatang itu masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hadits no 3690, hlm. 1700; Imam Shan’ani, Subulus Salam, I/28).

Nah, sahabat, saatnya kita beralih ke kosmetika halal ya dan tetap kritis terhadap produk kosmetika disekitar kita. [duniaterkini.com]

Sumber: http://halalcornerjatim.blogspot.com/

Inilah Pandangan Islam Tentang Merayakan Tahun Baru

Perayaan tahun baru Masehi (new year’s day, al ihtifal bi ra`si as sanah) pada dasarnya bukan hari raya umat Islam, melainkan hari raya agama Nashrani. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), diresmikan ulang oleh pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII tahun 1582. Penetapan ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara Eropa Barat yang Kristen sebelum mereka mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752. (www.en.wikipedia.org; www.history.com)

Bentuk perayaannya bermacam-macam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja (church servives), maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan (entertaintment), berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga (family time), dan lain-lain. (www.en.wikipedia.org).

Berdasarkan fakta tersebut diatas, seorang muslim tidak boleh atau haram merayakan tahun baru Masehi. Ada 2 alasan kenapa diharamkan; Pertama, secara umum Islam mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar). Kedua, Islam secara khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yaadihim).

Keharaman seorang Muslim menyerupai kaum kafir terdapat dalam ayat berikut : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104). Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan Allah SWT telah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Karena orang Yahudi menggumamkan kata ‘ru’uunah’ (bodoh sekali) sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW seakan-akan mereka mengucapkan ‘raa’ina’ (perhatikanlah kami). (Tafsir Ibnu Katsir, 1/149).

Ayat-ayat yang semakna ini banyak, antara lain QS Al Baqarah : 120, QS Al Baqarah : 145; QS Ali ‘Imran : 156, QS Al Hasyr : 19; QS Al Jatsiyah : 18-19; dll (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/7; Wa`il Zhawahiri Salamah, At Tasyabbuh Qawa’iduhu wa Dhawabituhu, hlm. 4-7; Mazhahir At Tasyabbuh bil Kuffar fi Al ‘Ashr Al Hadits, hlm. 28-34).

Penjelasan lainnya sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad, 5/20; Abu Dawud no 403). Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan sanad hadits ini hasan. (Fathul Bari, 10/271).

Hadits tersebut telah mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka (fi khasha`ishihim), seperti aqidah dan ibadah mereka, hari raya mereka, pakaian khas mereka, cara hidup mereka, dll. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/7; Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhalafatul Kuffar fi As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 22-23).

Selain itu, kaum muslim juga dilarang merayakan hari raya non muslim. Seperti sabda penjelasan berikut, ”Rasulullah SAW datang ke kota Madinah, sedang mereka (umat Islam) mempunyai dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main. Rasulullah SAW bertanya,’Apakah dua hari ini?’ Mereka menjawab,’Dahulu kami bermain-main pada dua hari itu pada masa Jahiliyyah.’ Rasulullah SAW bersabda,’Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud, no 1134). Hadits ini dengan jelas telah melarang kaum muslimin untuk merayakan hari raya kaum kafir. (Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhalafatul Kuffar fi As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 173).

Berdasarkan penjelasan di atas, haram hukumnya seorang muslim merayakan tahun baru, misalnya dengan meniup terompet, menyalakan kembang api, menunggu detik-detik pergantian tahun, memberi ucapan selamat tahun baru, makan-makan, dan sebagainya. Semuanya haram karena termasuk menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar) yang telah diharamkan Islam.

Dewa Matahari di Perayaan Tahun Baru

Setiap akhir tahun biasanya semua manusia di dunia ini tidak terkecuali kaum Muslim mengalami wabah penyakit yang luar biasa, pengidap penyakit ini biasanya menjadi suka menghamburkan harta untuk berhura-hura, euforia yang berlebihan, pesta pora dengan makanan yang mewah, minum-minum semalam penuh, lalu mendadak ngitung (3.., 2.., 1.. Dar Der Dor!).

Wabah itu bukan flu burung, bukan juga kelaparan, tapi wabah penyakit akhir tahun yang kita biasa sebut dengan tradisi perayaan tahun baruan. Kaum muda pun tak ketinggalan merayakan tradisi ini. Kalo yang udah punya gandengan merayakan dengan jalan-jalan konvoi keliling kota, pesta di restoran, kafe, warung (emang ada ya?)

Kalo yang jomblo yaa.. tiup terompet, baik terompet milik sendiri ataupun minjem (bagi yang nggak punya duit). Kalo yang kismin, ya minimal jalan-jalan naik truk bak sapi lah, sambil teriak-teriak nggak jelas.

Dan bagi kaum adam yang normal menurut pandangan jaman ini, kesemua perayaan itu tidaklah lengkap tanpa kehadiran kaum hawa. Karena seperti kata iklan “nggak ada cewe, nggak rame”

Bahkan di kota-kota besar, tak jarang setelah menunggu semalaman pergantian tahun itu mereka mengakhirinya dengan perbuatan-perbuatan terlarang di hotel atau motel terdekat.

Yah itulah sedikit cuplikan fakta yang sering kita lihat, dengar, dan rasakan menjelang malam-malam pergantian tahun. Ini dialami oleh kaum muslimin, khususnya para anak muda yang memang banyak sekali warna dan gejolaknya. Nah, sebagai pemuda-pemudi muslim yang cerdas, agar kita nggak salah langkah di tahun baruan ini, maka kita harus menyimak gimana seharusnya kita menyikapi momen yang satu ini.

Asal muasal tahun baruan

Awal muasal tahun baru 1 Januari jelas dari praktik penyembahan kepada dewa matahari kaum Romawi. Kita ketahui semua perayaan Romawi pada dasarnya adalah penyembahan kepada dewa matahari yang disesuaikan dengan gerakan matahari.

Sebagaimana yang kita ketahui, Romawi yang terletak di bagian bumi sebelah utara mengalami 4 musim dikarenakan pergerakan matahari. Dalam perhitungan sains masa kini yang juga dipahami Romawi kuno, musim dingin adalah pertanda ’mati’ nya matahari karena saat itu matahari bersembunyi di wilayah bagian selatan khatulistiwa.

Sepanjang bulan Desember, matahari terus turun ke wilayah bahagian selatan khatulistiwa sehingga memberikan musim dingin pada wilayah Romawi, dan titik tterjauh matahari adalah pada tanggal 21-22 Desember setiap tahunnya. Lalu mulai naik kembali ketika tanggal 25 Desember. Matahari terus naik sampai benar-benar terasa sekitar 6 hari kemudian.

Karena itulah Romawi merayakan rangkaian acara ’Kembalinya Matahari’ menyinari bumi sebagai perayaan terbesar. Dimulai dari perayaan Saturnalia (menyambut kembali dewa panen) pada tanggal 23 Desember. Lalu perayaan kembalinya Dewa Matahari (Sol Invictus) pada tanggal 25 Desember sampai tanggal 1-5 Januari yaitu Perayaan Tahun Baru (Matahari Baru)


Orang-orang Romawi merayakan Tahun Baru ini biasa dengan berjudi, mabuk-mabukan, bermain perempuan dan segala tindakan keji penuh nafsu kebinatangan diumbar disana. Persis seperti yang terjadi pada saat ini.

Ketika Romawi menggunakan Kristen sebagai agama negara, maka terjadi akulturasi agama Kristen dengan agama pagan Romawi. Maka diadopsilah tanggal 25 Desember sebagai hari Natal, 1 Januari sebagai Tahun Baru dan Bahkan perayaan Paskah (Easter Day), dan banyak perayaan dan simbol serta ritual lain yang diadopsi.

Bahkan untuk membenarkan 1 Januari sebagai perayaan besar, Romawi menyatakan bahwa Yesus yang lahir pada tanggal 25 Desember menurut mereka disunat 6 hari setelahnya yaitu pada tanggal 1 Januari, maka perayaannya dikenal dengan nama ’Hari Raya Penyunatan Yesus’ (The Circumcision Feast of Jesus)

Pandangan Islam terhadap Perayaan Tahun Baru

’Ala kulli hal, yang ingin kita sampaikan disini adalah bahwa ’Perayaan Tahun Baru’ dan derivatnya bukanlah berasal dari Islam. Bahkan berasal dari praktek pagan Romawi yang dilanjutkan menjadi perayaan dalam Kristen. Dan mengikuti serta merayakan Tahun baru adalah suatu keharaman di dalam Islam.

Dari segi budaya dan gaya hidup, perayaan tahun baruan pada hakikatnya adalah senjata kaum kafir imperialis dalam menyerang kaum muslim untuk menyebarkan ideologi setan yang senantiasa mereka emban yaitu sekularisme dan pemikiran-pemikiran turunannya seperti pluralisme, hedonisme-permisivisme dan konsumerisme untuk merusak kaum muslim, sekaligus menjadi alat untuk mengeruk keuntungan besar bagi kaum kapitalis.

Serangan-serangan pemikiran yang dilakukan barat ini dimaksudkan sedikitnya pada 3 hal yaitu (1) menjauhkan kaum muslim dari pemikiran, perasaan dan budaya serta gaya hidup yang Islami, (2) mengalihkan perhatian kaum muslim atas penderitaan dan kedzaliman yang terjadi pada diri mereka, dan (3) menjadikan barat sebagai kiblat budaya kaum muslimin khususnya para pemuda.

Ketiga hal tersebut jelas terlihat pada perayaan tahun baru yang dirayakan dan dibuat lebih megah dan lebih besar daripada hari raya kaum muslimin sendiri. Tradisi barat merayakan tahun baru dengan berpesta pora, berhura-hura diimpor dan diikuti oleh restoran, kafe, stasiun televisi dan pemerintah untuk mangajarkan kaum muslimin perilaku hedonisme-permisivisme dan konsumerisme.

Kaum muslim dibuat bersenang-senang agar mereka lupa terhadap penderitaan dan penyiksaan yang terjadi atas saudara-saudara mereka sesama muslim. Dan lewat tahun baruan ini pula disiarkan dan dipropagandakan secara intensif budaya barat yang harus diikuti seperti pesta kembang api, pesta minum minuman keras serta film-film barat bernuansa persuasif di televisi.

Semua hal tersebut dilakukan dengan bungkus yang cantik sehingga kaum muslimin kebanyakan pun tertipu dan tanpa sadar mengikuti budaya barat yang jauh dari ajaran Islam. Anggapan bahwa tahun baru adalah “hari raya baru” milik kaum muslim pun telah wajar dan membebek budaya barat pun dianggap lumrah.

”Sungguh kamu akan mengikuti (dan meniru) tradisi umat-umat sebelum kamu bagaikan bulu anak panah yang serupa dengan bulu anak panah lainnya, sampai kalaupun mereka masuk liang biawak niscaya kamu akan masuk ke dalamnya pula”. Sebagian sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasrani-kah?” Beliau menjawab: ”Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)

Walhasil, kaum secara i’tiqadi dan secara logika seorang muslim tidak layak larut dan sibuk dalam perayaan haram tahun baruan yang menjadi sarana mengarahkan budaya kaum muslim untuk mengekor kepada barat dan juga membuat kaum muslimin melupakan masalah-masalah yang terjadi pada mereka.

Dan hal ini juga termasuk mengucapkan selamat Tahun Baru, menyibukkan diri dalam perayaan tahun baru, meniup terompet, dan hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan orang-orang kafir.

Wallahua’lam

(felixsiauw.com/duniaterkini.com)

Memilih Restoran Halal

Konsumen muslim di Indonesia, karena merasa muslim adalah mayoritas di Indonesia, seringkali tidak sadar bahwa tidak semua restoran di Indonesia menyediakan makanan halal.  Tidak sadar pula bahwa walaupun di restoran tersebut tidak menyediakan masakan babi atau minuman keras ternyata makanan yang disajikan tidak semuanya dijamin halal.  Hal ini dapat terjadi diantaranya akibat ketidaktahuan si pengelola restoran maupun konsumen itu sendiri.  Oleh karena itu menjadi penting bagi konsumen untuk mengetahui peraturan yang berlaku, jenis makanan yang diragukan kehalalannya dan bagaimana cara terbaik untuk memilih restoran yang halal seperti akan dijelaskan dibawah ini.

Peraturan


Di Indonesia tidak ada peraturan yang mengharuskan setiap restoran harus menyediakan makanan halal, tidak juga ada keharusan memeriksakan kehalalan makanan yang disajikan restoran ybs.  Yang ada adalah apabila si restoran ingin mengklaim bahwa restorannya menyajikan makanan halal maka harus memeriksakan makanannya ke MUI, apabila si restoran tersebut telah mendapatkan sertifikat halal maka si restoran berhak mencantumkan logo halal pada restorannya.  Peraturan ini sebetulnya merupakan analogi peraturan yang berlaku pada produk pangan dalam kemasan dimana pencantuman label atau tanda halal pada produk dalam kemasan harus didasarkan atas sertifikat halal yang dimiliki oleh produk tersebut dimana sertifikat tersebut didasarkan pada hasil pemeriksaan oleh lembaga yang berwenang (MUI).

Masalahnya, seringkali si pengelola restoran mencantumkan label atau tanda halal di restorannya walaupun restoran tersebut belum pernah diperiksa sama sekali oleh yang berwenang (MUI).  Bahkan, ada satu restoran Jepang (kejadiannya sudah lama) yang telah diperiksa MUI tapi tidak memperoleh sertifikat halal karena dalam pembuatan makanannya masih mengggunakan sake dan mirin (keduanya masuk kedalam golongan khamar), ternyata si restoran tersebut mengiklankan dirinya sebagai restoran halal.  Praktek-praktek seperti ini jelas sangat merugikan konsumen.

Untuk kasus yang pertama dimana restoran mencantumkan sendiri label halal tanpa pemeriksaan itu jelas tindakan yang tidak fair karena konsumen tidak mengetahui bagaimana makanan yang disajikan si restoran dibuat dan tidak ada pihak yang ketiga dan berwenang yang menjadi saksi dalam pembuatan makanan yang disajikan.  Dalam kasus yang kedua dimana sudah jelas jelas si restoran tersebut menyajikan makanan yang tercampur bahan yang haram sehingga makanan yang disajikan juga haram, sudah melakukan penipuan terhadap konsumen karena berani mengklaim dan mengiklankan restorannya menyajikan makanan halal padahal haram.  Celakanya, hampir tidak ada sangsi yang diterima oleh restoran walaupun mencantumkan label halal atau mengiklankan restorannya sebagai halal tetapi tidak diperiksa dan dinyatakan halal oleh yang berwenang, atau melakukan penipuan sekalipun.

Sebagai konsumen kita harus waspada dan teliti karena jika si restoran tersebut tidak memiliki sertifikat halal maka artinya kehalalan makanan yang disajikan restoran ybs tidak ada lembaga berwenang yang menjamin.  Sayangnya, masih sedikit restoran yang telah memiliki sertifikat halal (lihat daftarnya di www.halalmui.org), oleh karena itu pengetahuan kitalah yang harus ditingkatkan sehingga bisa mengetahui mana restoran yang menyajikan makanan yang diragukan kehalalannya dan mana yang tidak.

Jenis makanan yang secara umum diragukan kehalalannya.


Secara umum makanan moderen lebih rawan kehalalannya (dibandingkan dengan makanan tradisional) karena bahan yang digunakan banyak yang impor dan berasal dari negara non muslim (khususnya bahan hewani dan turunannya).  Secara khusus konsumen muslim harus mewaspadai masakan Cina karena dalam pembuatannya sering melibatkan lemak babi dan arak, baik dalam bentuk arak putih maupun arak merah (ang ciu).  Selain itu, kie kian yang sering digunakan dalam pembuatan cap cai dalam pembuatannya melibatkan lemak babi.

Masakan Jepang dan sejenisnya dalam pembuatannya sering melibatkan sake dan mirin, keduanya masuk kedalam golongan khamar sehingga masakan yang dibuat dengan menggunakan sake dan mirin tidak diperkenankan dikonsumsi oleh umat Islam.  Masakan Barat juga rawan kehalalannya karena banyak menggunakan keju (status kehalalannya syubhat), wine (khususnya masakan Perancis), daging yang tidak halal, buillon (ekstrak daging), wine vinegar, dll.

Cukup banyak pula restoran, warung, kaki lima, gerobak dorong yang masih menggunakan ang ciu (anggur merah) dalam pembuatan masakannya seperti masakan seafood, nasi goreng, dll, bahkan masih ada pula praktek merendam ayam dalam arak sebelum diolah lebih lanjut.

Bagaimana memilih?


Dalam memilih mana restoran yang menyajikan makanan yang kehalalannya terjamin di Indonesia memang agak repot mengingat jenis restoran yang ada sangat banyak dan bervariasi dari mulai warung tegal, warung tenda, restoran kecil, restoran besar, restoran fast food, dll.  Walaupun demikian, ada beberapa saran yang dapat dijadikan pegangan yaitu:
  1. Pilihlah restoran yang telah mendapatkan sertifikat halal (lihat daftarnya di www.halalmui.org).  Restoran yang telah mendapatkan sertifikat halal sudah tidak perlu diragukan lagi kehalalan makanan dan minuman yang disajikannya.
  2. Jika kita tidak membawa daftar restoran halal maka pada waktu masuk ke restoran yang kita ragu atas kehalalan makanan dan minuman yang disajikan maka tanyakanlah sertifikat halal yang dimiliki oleh restoran tersebut secara sopan.  Jangan terkecoh dengan adanya label atau tanda halal yang ada di restoran ybs karena seperti telah dijelaskan sebelumnya, tidak selalu benar apa yang dinyatakan oleh restoran tsb.  Jika kita ragu terhadap kehalalan makanan dan minuman yang disajikan oleh restoran yang tidak memiliki sertifikat halal maka harus kita hindari restoran tsb.
  3. Hindari restoran yang menyajikan masakan yang secara umum diragukan kehalalannya seperti telah dijelaskan sebelumnya, kecuali restoran tersebut telah mendapatkan sertifikat halal dari yang berwenang.
  4. Tidak ada salahnya bertanya secara sopan dan baik untuk memastikan bahwa restoran yang kita datangi tidak menyajikan masakan yang diragukan kehalalannya. Sebagai contoh, kita dapat bertanya “apakah dalam pembuatan masakan di restoran ini menggunakan ang ciu?”, jika jawabannya “ya” maka kita katakan “terima kasih, maaf saya tak jadi makan di tempat ini, ada keperluan lain”, lalu kita meninggalkan restoran tsb.
  5. Hindari restoran yang menyajikan masakan yang jelas jelas haram seperti produk babi dan minuman keras.  Jangan pula makan di restoran yang menyajikan masakan halal bercampur dengan masakan haram seperti produk babi atau minuman keras.  Tidak ada jaminan bahwa masakan yang disajikan tidak bercampur dalam pembuatannya dengan masakan yang haram.  Dalam hal minuman keras, kita diperintahkan untuk menghindari tempat dimana minuman keras disajikan.
(AntonApriyantono/halalwatch.org/duniaterkini.com)

Setan Itu Bernama GADGET

Siapa di hari gini yang ga kenal gadget? Perangkat teknologi informasi terpopuler mulai dari pejabat hingga orang melarat, dari orang tua hingga anak anak dan dari para pekerja hingga pengangguran. Bedanya mungkin pada fisiltas di dalamnya saja. Namun sesederhana apapun fasilitasnya gadget tetap menjadi teman setia dalam setiap kesempatan. Istilahnya dimanapun tanpa gadget seolah mati gaya.

“Sesungguhnya setan telah mengatakan :’Demi keagungan-Mu, wahai Rabbku, aku tidak akan berhenti untuk menyesatkan hamba-hamba-Mu selagi roh mereka berada dalam jasadnya…’ (HR Ahmad dari Abu Sa’id).

Bukan setan kalau tidak mampu menggoda anak adam.Dia sangat kreatif dalam menciptakan modus modus penyesatan kepada hamba hamba Allah. Baik sejak sebelum si hamba memulai suatu perbuatan, pada saat berbuat dan jauh setelah perbuatan dilakukan.Jika belum berbuat , syetan selalu menahan seseorang untuk berbuat baik dengan keraguan dan ketakutan. Ah, ga usah sedekah, nanti hartamu berkurang, buat kebutuhan sendiri saja masih pas pasan, Ah ngapain datang di majelis ilmu, paling yang dibahas itu itu aja ga dapet apa apa”. Atau mendorong orang untuk mencoba coba perbuatan jahat, “udaaah sesekali hang out lah sama anak anak geje tuh, biar ga ketinggalan informasi”. Pada saat berbuatpun syaitan menghiasi perasaan seorang hamba dengan berbagai niat yang buruk dan menyimpang. Dan jauh hari setelah suatu perbuatan dilakukan, syetan menggoda manusia agar menceritakan kebaikannya atau mengenang perbuatan buruknya dan mengajaknya untuk mengulangi keburukan itu. Salah satu sarana yang dipake syetan dalam menggoda anak adam adalah dengan gadget.

Kalau kita mau renungkan, justru gadget sekarang seringkali telah menjadi penjelmaan setan itu sendiri. Chating, sms atau telepon, isinya menggunjing, bersayang-sayang dengan orang yang haram baginya, atau menyebar berita dusta.  Browsing membaca berita-berita gosip, melihat-lihat gambar dan video berbau porno, atau mendownload lagu baru, film dan game.

Memang sepertinya orang tidak berbuat apa-apa, tapi sebenarnya dosa jalan terus melalui gadget.  Kalaupun tidak melakukan yang berdosa seperti menggunjing, pacaran dan menyebar dusta, mereka  dekat dengan perbuatan yang diperintahkan Allah untuk ditinggalkan, yakni perbuatan sia-sia.  Allah SWT berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ  - الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ - وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ


“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman.  Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang sia-sia” (QS Al Mu’minun : 1-3).

Perbuatan sia-sia adalah perbuatan yang tidak kita sadari merugikan kita.  Dengan melakukan perbuatan sia-sia, waktu kita terbuang percuma.  Semestinya kita bisa menggunakan waktu tersebut untuk hal-hal lain yang bermanfaat dan mengerjakan perbuatan yang dapat mendatangkan pahala.  Bahkan perbuatan sia-sia dapat mengundang dosa, saat kita terlena dengannya sampai melupakan kewajiban-kewajiban kita.  Seperti terlalu asyik menonton film, chating, main game dan sebagainya sampai melewatkan waktu shalat.

Yang memprihatinkan, saat ini perbuatan sia-sia seakan menjadi tren.  Di angkot, alih-alih berzikir, lebih banyak orang yang memasang headset di telinganya, mendengarkan musik.  Di mana pun kita lihat orang yang sedang asyik dengan gadget.  Chating menjadi budaya, dari messenger-an, facebook, twitter sampai blackberry-an.

Mengasyikkan, namun sangat disayangkan, waktu kita habis  sia-sia.  Padahal bagi seorang muslim, waktu adalah investasi yang paling berharga.  Dan waktu, tidak akan pernah bisa kembali.  Jangan sampai saat kita sudah di depan pengadilan Allah, baru kita menyesali kehidupan kita di dunia, seperti digambarkan Allah dalam QS. Al Fajr :

وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّىٰ لَهُ الذِّكْرَىٰ     


يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي


“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.

Dia mengatakan: "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini". (QS. Al Fajr : 23-24).

Itulah sebabnya agama kita memerintahkan kita untuk meninggalkan perbuatan sia-sia.  Bahkan, seorang yang menjaga agamanya, ia akan berusaha untuk sesedikit mungkin melakukan hal-hal yang mubah, sekalipun boleh, untuk dapat memperbanyak melakukan yang wajib dan sunnah.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya:

 “Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya".”(Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu). Hadits di ini merupakan salah satu prinsip adab dan etika mulia dalam Jami’ul 'Ulum wal-Hikam (I/288).

Disinilah pentingnya kita menyusun prioritas amal.  Amal-amal wajib kita jalankan dengan sempurna.  Amal-amal sunnah kita perbanyak, amal-amal mubah kita cukupkan dengan seperlunya saja, dan amal-amal yang makruh dan haram kita tinggalkan.  Insya Allah, dengan kita menjaga diri dari perbuatan sia-sia, kita akan terhindar dari mengerjakan yang haram dan terjaga dari kerugian dunia.

Maka, daripada kita menghabiskan waktu untuk mendengar lagu, kenapa tidak untuk mendengar dan mengkaji Al Qur’an?  Chating dan sms kita jadikan sarana dakwah untuk menyampaikan ajaran agama.  Browsing kita jadikan sarana meningkatkan kualitas keilmuan kita.  Ngabuburit kita isi dengan menyambung ukhuwah, atau tadarus dan mengkaji agama.  Insya Allah dengan demikian perbuatan kita bernilai pahala. Kepada Allah kita memohon ampunan dan petunjuk. wallaahu a'lam

[Mayadewi/indahzaida.blogspot.com/duniaterkini.com]
 
Copyright © 2015. Muslim Magazine.
Design by Herdiansyah Hamzah. Published by Themes Paper. Distributed By Kaizen Template Powered by Blogger.
Creative Commons License