Tampilkan postingan dengan label Opini Redaksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini Redaksi. Tampilkan semua postingan

Perpres Miras, Siapa Yang Diuntungkan?

Baru-baru ini  pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 74 tahun 2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol (minuman keras). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani pengesahannya pada 6 Desember 2013.

Pemerintah mengategorikan minuman beralkohol sebagai barang dalam pengawasan. Pasal 3 Ayat (3) Perpres 74/2013 tertulis “Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya,”

Dalam perpres tersebut, mihol dikelompokkan dalam tiga golongan. Pertama, mihol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan lima persen. Kedua, mihol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari lima sampai 20 persen. Ketiga, mihol golongan C, yaitu minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20-55 persen.

Pasal 7 perpres ini menegaskan, minuman beralkohol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di sejumlah tempat. Di antaranya,  hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan. Selain itu, mihol juga bisa diperjualbelikan di toko bebas bea.

Hal yang baru dari perpres pengendalian mihol adalah pemberian kewenangan pada bupati dan wali kota di daerah-daerah, serta gubernur di DKI Jakarta untuk menentukan tempat-tempat di mana mihol boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi. Syaratnya, mesti tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit.

Di luar tempat-tempat tersebut, minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Perpres juga memberikan wewenang kepada bupati/wali kota dan gubernur untuk DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal.

Kepentingan Siapa?

Ironis, hal ini terjadi di saat masyarakat sudah semakin banyak menyadari kerusakan yang diakibatkan oleh minuman beralkohol, begitu pula banyak data berbicara seputar mudharat barang haram tersebut. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 320.000 orang di dunia meninggal setiap tahunnya karena berbagai penyakit berkaitan dengan alkohol.

Dari data yang disampaikan oleh Kapolres Kendari AKBP Anjar Wicaksana, penyebab kejahatan yang banyak terjadi dalam kurun waktu Bulan Juni 2013 sekitar 80% dimulai dari konsumsi miras (baubaupos.com/16 Juli 2013). Sementara itu Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Polri Kombes (Pol) Agus Rianto juga mengemukakan, kecelakaan yang disebabkan pengendara mengkonsumsi miras hingga pertengahan tahun 2013 ada 49 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya (jaringnews.com/12 Agustus 2013).

Data terbaru di awal tahun ini, Di Mojokerto 17 tewas, sementara di Menanggal Surabaya 4 orang mati meregang nyawa sia-sia dengan seluruh organ dalam tubuhnya dipenuhi minuman alkohol oplosan, cukrik (duniaterkini.com/ 10 Januari 2014).

Semula masyarakat berharap perpres ini akan menjadi regulasi yang menghentikan peredaran miras, mengingat semakin banyaknya daerah yang bersemangat melarang peredaran miras dengan Perda Syari’ah. Namun ternyata harapan itu hanya tinggal harapan semu. Pemerintah bukannya berpihak pada rakyat, malah lebih berpihak pada pengusaha dan pedagang miras, terlebih dengan disahkannya perpres ini  maka perda-perda tersebut dianggap tidak berlaku lagi.

Langkah Jitu Basmi Miras

Permasalahan miras di Indonesia sesungguhnya berpangkal dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem tersebut dinilai selalu membuka ruang bermunculannya bisnis haram termasuk miras. Prinsipnya, selama ada permintaan pasar, menguntungkan bagi pengusaha dan ada pemasukan buat negara, maka bisnis apapun termasuk yang merusak masyarakat akan difasilitasi.

Berbeda dengan solusi kapitalis yang serba kompromistis dan tidak memuaskan akal, Islam punya langkah jitu yang tegas dan jelas dalam pemberantasan minuman keras.

Islam sangat menjaga akal manusia. Oleh karena itu syari’at Islam mengharamkan minuman keras, berapapun kadar alkoholnya. Bahkan menjuluki miras sebagai induk kejahatan, bermacam kejahatan dan perusakan berawal dari konsumsi miras. Seseorang bisa membunuh, memperkosa, dan merampok karena minum miras.

Berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 90, meminum khamr (miras) adalah dosa besar dan pelakunya harus dijatuhi sanksi dijilid 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga mengharamkan dan menghilangkan semua hal yang terkait dengan khamr, mulai dari perizinan, produksi (pabrik), distribusi (toko yang menjual minuman keras), hingga yang meminumnya. Karena semua pihak yang terkait itu akan dilaknat Allah SWT.

Pemerintah sebagai perisai ummat wajib melarang produksi dan peredaran miras di tengah  masyarakat. Tidak ada kompromi dalam hal  ini, karena kewajiban pemerintah dalam Islam adalah pelaksana syari’at secara menyeluruh.

Sekarang pilihan ada di tangan kita semua, mau terus hidup di dalam sistem kapitalis yang serba permisif, termasuk melegalkan barang yang jelas haram? Atau hidup dalam sistem Islam yang menjaga akal dan melindungi jiwa manusia?

[MayaDewi/duniaterkini.com]

Sistem Islam; Pembiayaan dan Pelayanan Kesehatan Kewajiban Pemerintah

Saat ini sedang ramai diperbincangkan soal program layanan kesehatan ala pemerintah Indonesia yang dinamai JKN (Jaminan Kesehatan nasional). Operasional program tersebut dibawah BPJS (Badan Pelayanan Jaminan Sosial). Sosialiasi sudah mulai dilaksanakan sejak bulan September tahun lalu, dan kabarnya akan segera diberlakukan tahun 2014 ini (www.jkn.kemenkes.go.id).

Bagaimana tanggapan kita terhadap program ini? Ada baiknya kita mengenali operatornya terlebih dahulu. BPJS Kesehatan, adalah perusahaan asuransi yang bekerjasama dengan pemerintah menyelenggarakan layanan kesehatan, meski merupakan badan hukum publik, namun prinsip-prinsip korporasi tetap dijadikan dasar tata kelolanya. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh butir b pasal 11, tentang wewenang BPJS, yaitu, “menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai”.  Artinya yang dikehendaki dan yang terjadi adalah pemberian wewenang tata kelola finansial dan pelayanan publik (pelayanan Kesehatan) kepada korporasi, yaitu BPJS Kesehatan.

Seperti lazimnya korporasi, maka ia akan menggunakan dana jaminan sosial sebagai modal untuk pengembangan produknya. Dan ia akan berorientasi pada keuntungan, bukan pada pemenuhan layanan. Ia akan jual jasa layanan kesehatan kepada konsumen, dan bukan menjamin layanan seutuhnya kepada rakyat.

Jika kita melihat dari sisi kepesertaan JKN. Ternyata program ini bersifat wajib bagi seluruh masyarakat.  Kewajiban tersebut ditetapkan oleh Undang Undang Nomor 20 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, butir ke 3, pasal ke 1, yang berbunyi, “Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib” Kepesertaan wajib dalam JKN per Januari 2014 ini, akan diberlakukan bagi 140 juta jiwa (peserta jamkesmas, jamkesda, askes, astek dan TNI/ POLRI). Sedangkan kepesertaan wajib bagi semua penduduk Indonesia diberlakukan Januari tahun 2019.

Untuk memperoleh manfaat dari JKN ini, para peserta diwajibkan membayar sejumlah iuran bulanan (premi) berdasarkan prosentase gajinya. Menurut Kepala Departemen Hubungan Masyarakat BPJS, Irfan Humaidi, jika ada keterlambatan pembayaran lunas iuran jaminan kesehatan akan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen per bulan dari total iuran yang tertunggak dan ditanggung pemberi kerja atau pembayar (health.liputan6.com).

Jika kita amati dari fakta-fakta di atas, benarkah JKN adalah bentuk pengabdian pemerintah terhadap rakyat? Tentu saja sulit untuk di-iya-kan. Mengapa?

Jika memang JKN adalah benar-benar merupakan JAMINAN pemerintah terhadap kesehatan masyarakat, sudah seharusnya pembiayaan juga merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan beban rakyat. Terlebih dengan adanya sistem sanksi denda sejumlah uang yang diterapkan bagi peserta yang terlambat membayar premi.

Sudah begitu, manfaat yang diberikan dari program ini hanya dapat dirasakan jika peserta dalam kondisi sakit saja. Jika tidak, maka uang yang telah dibayarkan setiap bulan akan hangus sia-sia. Pemerintah berdalih bahwa program ini adalah program gotong-royong masyarakat, dimana yang mampu menolong yang lemah,yang sehat membantu yang sakit. Hal ini semakin menguatkan anggapan bahwa pemerintah memang tidak berniat menjamin kesehatan rakyatnya, dan melimpahkan tanggungjawabnya itu pada seluruh lapisan masyarakat.

Layanan Kesehatan Sistem Khilafah

Sejatinya, kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi setiap individu. Khilafah sebagai institusi pelaksana syariat Islam yang kaffah memiliki kewajiban memberi jaminan pemenuhan hak-hak tersebut bagi rakyatnya. Tidak boleh menjadikan pelayanan kesehatan sebagai sarana yang dikomersilkan. Sehingga dengan perspektif demikian, maka pembiayaan atas pelayanan kesehatan termasuk semua sarana dan prasarana pendukung bukanlah kewajiban rakyat, tapi kewajiban pemerintah.

Dari mana negara Khilafah mendapatkan biaya? Dari sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Diantaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan dan penyediaan sarana penunjang kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat.

Visi pelayanan kesehatan Khilafah adalah melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi. Kaya-miskin, penduduk kota dan desa, semuanya mendapat layanan dengan kualitas yang sama. Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.

Layanan Kesehatan Khilafah Berkualitas Unggul Kendali mutu jaminan kesehatan khilafah berpedoman pada tiga strategi utama, yaitu administrasi yang simple, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh personal yang kapabel.

Berdasarkan tiga hal tersebut, layanan kesehatan khilafah memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Berkualitas, yaitu memiliki standar pelayanan yang teruji, lagi selaras dengan prinsip etik kedokteran Islam;
  2. Individu pelaksana, seperti SDM kesehatan selain kompeten dibidangnya juga seorang yang amanah;
  3. Available, semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat mudah diperoleh dan selalu tersedia (continuous);
  4. Lokasi pelayanan kesehatan mudah dicapai (accessible), tidak ada lagi hambatan geografis.

Ketersediaan rumah sakit di setiap satuan kawasan penduduk dengan tenaga medis terlatih dan ketersediaan sarana yang memadai, mengeliminir faktor kelalaian manusia. Paradigma hidup sehat yang diedukasi negara dengan jaminan ketersediaan kebutuhan pokok individu yang cukup, meniscayakan kualitas kesehatan yang baik. Ditambah dengan kualitas layanan kesehatan yang berkualitas, lengkaplah kebahagiaan rakyat yang menjadi warga negara Khilafah.

Tidak bisa tidak, berbicara tentang jaminan kesehatan tak lepas dari dukungan sistem hukum, perpolitikan, sosial, budaya, dan ekonomi. Oleh karena itulah, memang harus dengan pemberlakuan sistem yang terintegrasi baru akan mampu mewujudkan pelayanan kesehatan yang sempurna. Dan Khilafah adalah institusi yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Sehingga tidaklah sulit bagi institusi ini memberikan jaminan kesehatan gratis yang berkualitas bagi rakyatnya.

Dengan demikian, tak berlebihan jika kita memilih sistem Khilafah sebagai pengganti sistem bernegara saat ini. Bukan hanya karena banyaknya manfaat seperti yang telah dipaparkan di atas, namun juga karena alasan ketundukan kita pada aturan Sang Pencipta.

[Mayadewi/dari berbagai sumber/duniaterkini.com]

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Cara Negara Memalak Rakyat

Meski ada protes dan keraguan pemberi pelayanan kesehatan untuk berpartisipasi pada Jaminan Kesehatan Nasional yang akan diterapkan 1 Januari 2014, cukup banyak klinik, puskesmas atau rumah sakit yang bergabung.

Menurut Wamenkes, Ali Ghufron Mukti, sejauh ini ada sekitar 15.800 dokter praktek mandiri, klinik dan puskesmas yang akan memberi pelayanan kesehatan dasar. Pelayanan tingkat lanjutan akan dilakukan sekitar 1.700 rumah sakit pemerintah dan swasta yang tersebar di Indonesia. (Kompas, 30/12/2013).

Bukan Jaminan, Tapi Asuransi Kesehatan Nasional

Katanya jika program JKN sempurna, seluruh rakyat akan mendapat jaminan kesehatan. Katanya, jika JKN sudah jalan, rakyat akan mendapat pelayanan kesehatan gratis.

Itu hanya propaganda. Realitanya justru sebaliknya. Yang ada bukanlah jaminan kesehatan nasional, akan tetapi asuransi kesehatan nasional. Dua hal yang sangat berbeda bahkan berkebalikan.

Pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014 ini adalah amanat dari UU No. 40 th. 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 th. 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).

UU SJSN Pasal 19 ayat 1 menegaskan: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3). Prinsip ekuitas artinya tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan.

UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan kesehatan menjadi kewajiban rakyat. Hak rakyat justru diubah menjadi kewajiban rakyat. Konsekuensinya, rakyat kehilangan haknya untuk mendapat jaminan kesehatan yang seharusnya wajib dipenuhi oleh negara.

UU ini “menghilangkan” kewajiban dari negara dan memindahkannya ke pundak rakyat. Rakyat wajib menanggung pelayanan kesehatannya sendiri dan sesama rakyat. Itulah prinsip kegotong-royongan SJSN yaitu prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4).

Bukan Gratis, Tapi Wajib Bayar

Dalam sistem JKN ini tidak ada yang gratis. Justru seluruh rakyat wajib membayar dahulu, tiap bulan. JKN adalah asuransi sosial. Hanya peserta yang membayar premi yang akan dapat layanan kesehatan JKN. Itu wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip kepesertaan wajib UU SJSN. Yakni seluruh penduduk wajib jadi peserta asuransi sosial kesehatan (JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran tiap bulan. Pasal 17: “(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.”

Iuran untuk orang miskin dibayar oleh pemerintah (ayat 4) dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI), atas nama hak sosial rakyat. Tapi hak itu tidak langsung diberikan kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga (BPJS) dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak. Jadi realitanya, rakyat diwajibkan membiayai layanan kesehatan diri mereka dan sesama rakyat lainnya.

Jadi tidak ada yang gratis untuk rakyat. Justru rakyat wajib bayar iuran, baik layanan itu ia pakai atau tidak. JKN lebih tepat disebut layanan kesehatan prabayar, persis seperti layanan telepon prabayar. Sebab setiap rakyat wajib bayar premi (iuran) tiap bulan, baik layanan itu dimanfaatkan bulan itu atau tidak. Jika tidak bayar maka tidak akan mendapat manfaat layanan kesehatan JKN.

Besarnya iuran per bulan telah ditetapkan. Dalam Perpres ditetapkan nominal iuran PBI per jiwa Rp. 19.225, akan mendapat layanan rawat inap kelas 3. Iuran PNS/TNI/Polri/pensiunan sebesar 5% per keluarga (2% dari pekerja dan 3% dari pemberi kerja) dan akan dapat layanan rawat inap kelas 1 untuk golongan III ke atas atau yang setara, dan rawat inap kelas 2 untuk di bawah golongan III.

Untuk pekerja penerima upah selain PNS dan lainnya, iuran ditetapkan 4,5% per keluarga (0,5% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) hingga 30 Juni 2015, dan menjadi 5% per keluarga (1% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) mulai 1 Juli 2015. Mereka akan mendapat layanan rawat inap kelas 1 jika bergaji lebih dari dua kali pendapatan tidak kena pajak (sekitar Rp. 4 juta) dan rawat inap kelas 2 jika bergaji di bawahnya. Jika pekerja bergaji Rp 2 juta, sampai 30 Juni 2015, ia harus membayar Rp. 10 ribu per keluarga (untuk 5 anggota keluarga), dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Dan mulai 1 Juli 2015, tiap pekerja harus membayar Rp. 20 ribu, dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Jadi pemberi kerja tiap bulan harus membayar Rp. 80 ribu dikalikan jumlah pekerjanya.

Sementara untuk pekerja bukan penerima upah (bekerja sendiri) atau bukan pekerja, iuran Rp. 25.500 per jiwa (layanan rawat inap kelas 3), Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2), dan Rp. 59.500 per jiwa (rawat inap kelas 1). Untuk satu keluarga tinggal dikalikan jumlah anggota keluarga. Jumlah itulah yang wajib dibayarkan tiap bulan.

Jika ada biaya lebih dari yang dikover JKN, maka harus dibayar sendiri. Masalahnya, tarif yang ditetapkan sangat kecil. Contohnya, untuk RS Pratama, praktik dokter, dan fasilitas kesehatan yang setara tarif yang dikover hanya Rp. 8.000-10.000 per peserta per bulan; praktek dokter gigi malah hanya Rp 2.000.

Perpres tentang JKN, menetapkan prosedur layanan JKN, bahwa peserta harus mendapat pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar. Di fasilitas lain hanya boleh jika di luar wilayah atau kegawatdaruratan medis. Itu artinya, meski masih di kota yang sama, jika bukan di tempat peserta terdaftar, tidak akan dikover oleh JKN, artinya harus bayar sendiri.

“Memalak” Rakyat, Himpun Dana

JKN (Jaminan Sosial Nasional) merupakan cara lain memungut dana secara wajib – “memalak”- seluruh rakyat. Tiap orang akan terkena pungutan. Pemberi kerja akan terkena pungutan sangat besar. Makin banyak pekerjanya, makin besar pungutan yang harus dibayarnya. Biaya itu bisa saja dimasukkan harga jual produk/jasa. Maka beban seluruhnya kembali kepada rakyat pada umumnya.

Lebih menyesakkan lagi, jika telat bayar, tidak diberi layanan, bisa didenda, bahkan tidak diberi pelayanan administratif publik seperti ngurus KTP, akte, sertifikat, IMB, dsb. Pemberi kerja atau kepala keluarga yang tidak mendaftarkan pekerja atau anggota keluarganya, bisa dikenai sanksi bahkan sampai sanksi pidana. Inilah kezaliman luar biasa. Sudah dipalak, jika telat dijatuhi sanksi, jika menghindar bisa dipidana.

Itulah “pemalakan” rakyat untuk menghimpun dana besar. Kompas (26/12) menyebutkan, penyelenggara jaminan kesehatan diperkirakan akan mengumpulkan dana iuran peserta sedikitnya Rp. 80 triliun per tahun. Akumulasi dana ini akan bertambah besar saat BPJS ketenagakerjaan beroperasi penuh pada 1 Juli 2015 dan menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian dan jaminan pensiun.

Dana Jaminan Sosial itu wajib disimpan dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan BUMN (Pasl 40 UU BPJS). Artinya Bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai amanat Pasal 11 UU BPJS, dana itu diinvestasikan. Tentu dalam bentuk surat berharga, termasuk Surat Utang Negara dan surat berharga swasta. Dengan itu, negara dapat sumber dana baru. Selain negara, swasta dan para kapitalis juga akan menikmati dana itu yang diinvestasikan melalui instrumen investasi mereka. Mungkin karena itulah Barat (khususnya melalui Bank Dunia, IMF, ADB, USAID) sangat getol bahkan mendekte agar SJSN dalam bentuk asuransi sosial itu segera eksis dan berjalan.

Islam: Pelayanan Kesehatan Kewajiban Negara

Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)

Secara praktis, penyediaan layanan kesehatan gratis telah dipraktekkan dan dicontohkan oleh Nabi saw sebagai kepala negara, dan para Khulafa’ur Rasyidin. Hal itu menjadi sunnah Nabi saw dan ijmak sahabat bahwa negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Itu menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan layanan kesehatan yang diperlukan tanpa memandang tingkat ekonominya.

Dana untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan syariah. Bisa dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, seperti hutan, bermacam tambang, migas, panas bumi, hasil laut dan kekayaan alam lainnya. Juga dari kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat.

Namun semua itu hanya bisa terwujud, jika Syariah Islam diterapkan secara total dalam sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Untuk itu, kewajiban kita semua, umat Islam, untuk sesegera mungkin mewujudkannya. Lebih dari itu, mewujudkannya adalah kewajiban syar’i dan konsekuensi dari akidah Islam yang kita yakini. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Refleksi Akhir Tahun 2013: Indonesia dan Dunia Dibawah Peradaban Demokrasi

Indonesia, negeri kaya di khatulistiwa, tak henti dirundung nestapa. Nasib serupa dialami kaum Muslim di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, dinamika politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan selama 2013 menunjukkan betapa negeri ini belum mapan dan kian jauh dari harapan. Rangkaian peristiwa menonjol, terangkum dalam kilas balik berikut ini.

Politik: Demokrasi dan Gurita Korupsi

Tahun 2013 menjadi tahun yang penting menjelang suksesi kepemimpinan Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus lengser pada 2014, setelah memimpin selama dua periode.

Berbagai ancang-ancang dilakukan oleh partai politik untuk berebut kursi tertinggi negeri Muslim terbesar di dunia ini. Puluhan partai politik mendaftarkan diri. Namun hanya 12 partai politik nasional yang akhirnya berhak maju ke pemilihan umum mendatang. Hampir semuanya adalah partai-partai lama. Kalau pun baru, orangnya stok lama.

Di tengah persiapan menjelang Pemilu, tabir busuk partai politik mulai terbuka. Syahwat mereka mengumpulkan pundi-pundi uang dengan segala cara untuk kepentingan demokrasi tak bisa ditahan lagi. Jadilah partai politik menjadi sarang bercokolnya para koruptor. Wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR satu per satu dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Setelah tahun sebelumnya M Nazaruddin (bendahara Partai Demokrat) dijebloskan ke penjara karena terbukti korupsi giliran berikutnya adalah teman-temannya. Ada Angelina Sondakh yang November lalu dijatuhi hukuman 12 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Sementara Andi Alfian Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga dari Partai Demokrat, ditahan KPK karena diduga terlibat korupsi Wisma Atlet di Hambalang. Kasus yang sama menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Padahal mereka ini sebelumnya adalah bintang iklan: “Katakan tidak pada korupsi!”

Bukan hanya Partai Demokrat, utak-atik proyek pun dilakukan oleh kader Partai Keadilan Sejahtera. Tak tanggung-tanggung, pelakunya adalah Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq. Di penghujung Januari, ia ditangkap KPK karena terlibat dalam pengaturan impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang. Di persidangan, Lutfi dinyatakan bersalah dan divonis 16 tahun penjara dan hartanya disita.

Korupsi ini tidak hanya menjadi domain wakil rakyat, birokrat pun terlibat. Beberapa hari sebelum Luthfi, Irjen Pol Joko Susilo digelandang KPK. Ia didakwa terlibat korupsi simulator SIM. Di persidangan Joko divonis 10 tahun penjara.

Rupanya, korupsi ini sudah menjadi penyakit akut dan menjangkiti semua lini. Agustus 2013, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini tertangkap tangan menerima suap di rumahnya. Uang itu dari perusahaan migas yang ingin memenangi tender.

Dan yang paling spektakuler di tahun 2013 adalah tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh KPK. Ia dicokok di rumah dinasnya, komplek pejabat tinggi negara karena diduga menerima uang suap dalam kasus Pilkada di Kab Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Bersamanya digelandang pula kader Partai Golkar Chairunnisa.

Ternyata Akil tidak hanya bermain di satu Pilkada itu saja. Ia pun diduga menerima suap dalam kasus Pilkada Lebak, Banten. Saat itu pula KPK menangkap Tubagus Chaeri Wardhana, adik kandung Gubernur Banten Atut Chosiyah. Dari sinilah, berbagai kasus korupsi di Banten oleh keluarga Atut mulai terkuak. Terungkap pula, dinasti Atut menguasai hampir semua lini pemerintahan di provinsi paling barat pulau Jawa itu. Dan ada dugaan, terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya.

Sepak terjang dinasti Atut ini pun menambah deret panjang jejak korupsi di birokrasi. Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menilai faktor utama tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah itu adalah tingginya biaya politik selama pemilihan umum kepala daerah berlangsung. “Karena dalam politik tidak ada yang gratis.”

Itulah mengapa, politik dinasti muncul di daerah. Begitu salah satu bagian dinasti meraih kursi, singgasana itu akan terus dipertahankan pada dinastinya. Pakar menyebut ini sebagai ‘cacat bawaan demokrasi’.

Hampir semua lini terlibat korupsi. Tak terkecuali, para pejabat tinggi. Wakil Presiden Boediono diperiksa KPK karena diduga bertanggung jawab atas pengucuran dana bagi Bank Century, Rp 6.7 triliun. Demikian pula Istana disebut-sebut terlibat dalam berbagai tindak korupsi dalam kasus impor daging sapi dan Hambalang.

Bersamaan dengan itu, pemerintah dan DPR berusaha mengebiri ormas dengan melarang mereka menggunakan asas Islam dan bergerak di bidang politik. Penentangan pun bermunculan. Akhirnya, UU Ormas disahkan dan berbagai niat pemerintah tak kesampaian.

Ekonomi: Jago Utang, Dicaplok Asing

Pembangunan di Indonesia ternyata lebih mengandalkan utang daripada sumber kekayaan alam. Hingga September 2013, utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 2.273,76 triliun. Jumlah utang ini naik naik Rp 95,81 triliun dibandingkan dengan posisi Agustus 2013.

Bila dibandingkan dengan utang di akhir 2012 yang sebesar Rp 1.977,71 triliun, utang pemerintah di September 2013 naik cukup tinggi. Secara rasio terhadap PDB total di 2012, utang pemerintah Indonesia berada di level 27,5 persen hingga September 2013.

Utang ini menjadi andalan Indonesia karena kekayaan alam telah tergadaikan kepada asing. Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Pratikno mengatakan, hingga September aset negara sekitar 70-80 persen telah dikuasi bangsa asing. Tanpa usaha keras untuk mengambilnya kembali, aset itu semuanya akan jatuh ke tangan orang asing.

Ia mencontohkan, aset di bidang perbankan misalnya, bangsa asing telah menguasai lebih dari 50 persen. Sektor migas dan batu bara antara 70-75 persen, telekomunikasi antara 70 persen dan lebih parah adalah pertambambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai asng mencapai 80-85 persen.
Dalam situasi seperti itu pemerintah tak berkutik. Titah asing tak bisa ditolak. Jadilah pemerintah membebek perintah asing untuk mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Mulai Sabtu (22/6/2013) pemerintah menetapkan, harga BBM bersubsidi jenis premium naik Rp 2.000 per liter dan harga jual Solar naik Rp 1.000 per liter.

Dengan kenaikan tersebut, maka terhitung mulai Sabtu (22/6), harga jual premium yang semula Rp 4.500 per liter kini menjadi Rp 6.500 per liter. Sedangkan harga Solar yang semula Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500 per liter. Pemerintah beralasan, meningkatnya harga minyak dunia dan membengkaknya konsumsi BBM, telah mengakibatkan subsidi BBM mendekati Rp 300 triliun dan defisit anggaran melampaui 3 persen. Anehnya, DPR yang katanya wakil rakyat, malah setuju dengan pemerintah dan menolak aspirasi rakyat.

Ketika para pakar berpendapat kenaikan harga BBM ini akan menaikkan inflasi dan kemiskinan lebih dari 2 persen, dalam pidato kenegaraan di depan DPR Agustus 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru mengklaim kemiskinan di Indonesia menurun. Tercatat tingkat penurunan angka kemiskinan di 2004 hingga 16,66 persen menjadi 11,37 persen hingga Maret 2013.

Padahal fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Secara kualitas kemiskinan justru mengalami involusi dan cenderung semakin kronis. Ini pula yang dirasakan oleh Gubernur DKI yang baru Joko Widodo. Saat sidang paripurna DPRD DKI Jakarta April 2013, Jokowi memaparkan jumlah penduduk miskin pada bulan September 2012 sebesar 366.770 orang atau 3,70 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk miskin pada September 2011 yang berjumlah 355.200 orang atau 3,64 persen.

Angka kemiskinan ini berkorelasi positif dengan jumlah pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka sebesar 6,25 persen atau sebanyak 7,39 juta orang (per Agustus 2013) atau meningkat sebesar 6,14 persen (7,24 juta orang) dibandingkan periode yang sama 2012.

Kepala BPS Suryamin Rabu (6/11/2013) menjelaskan, bertumbuhnya jumlah pengangguran ini lantaran adanya perlambatan ekonomi pada tahun ini, terutama pada triwulan III/2013, di mana ekonomi tumbuh hanya 5,62 persen. “Perlambatan ekonomi ini menyebabkan pengurangan lapangan kerja. Akhirnya kurang ada penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.

Ekonomi yang kian sulit mendorong para buruh terus berupaya mendapatkan perbaikan penghasilan. Sepanjang tahun 2013, aksi buruh terjadi di mana-mana. Mereka menuntut perbaikan upah minimum. Para pengusaha pun keberatan karena mereka banyak terbebani biaya siluman alias pungutan liar. Ini diakui sendiri oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Sementara buruh merasa upahnya tak lagi cukup untuk hidup. Konflik itu terus berkepanjangan hingga akhir tahun.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah meminta DPR menyetujui anggaran negara tahun 2014. Postur APBN itu menunjukkan kenaikan pengeluaran pemerintah. Ironisnya, sebagian besar pengeluaran APBN kita ternyata bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk yang lain: membayar utang dan bunganya; gaji pegawai negeri; juga fasilitas dan perjalanan dinas para pejabat. Bahkan tren pengeluaran untuk fasilitas dan perjalanan dinas para pejabat meningkat dari tahun ke tahun. Sebaliknya, pengeluaran untuk rakyat—melalui subsidi—terus-menerus dikurangi. Sedangkan di sisi penerimaan berkurang. Lagi-lagi pemerintah mengandalkan penerimaan dari pajak, bukan sumber daya alam. Untuk itu pemerintah akan menggenjot pajak dan mengutang kepada negara lain/lembaga internasional.

Bahkan untuk menaikkan citra, pemerintah rela merogoh kocek Rp 109 miliar untuk menyelenggarakan pertemuan World Trade Organization di Bali, awal Desember lalu. Tidak ada yang didapat Indonesia kecuali pujian bahwa Indonesia menjadi pelaksana pertemuan WTO yang baik. Sementara kepentingan Indonesia dan negara berkembang melayang, kalah oleh kepentingan negara besar. Tragis.

Sosial Budaya: Kian Rusak dan Liberal

Tahun 2013 tak lepas dari konflik hirisontal. Demokrasi yang digadang-gadang mampu melahirkan tatanan masyarakat yang lebih baik ternyata sebaliknya. Masyarakat kian liberal dan terputus jalinan persaudaraannya.

Konflik antar anggota masyarakat berlangsung hampir setiap saat. Setiap masalah berujung kepada kekerasan, anarkisme. Bentrok antarkampung, antarsuku, antarpreman, antarsekolah, antarormas, antarpendukung calon kepala daerah, bahkan antargeng mewarnai pemberitaan televisi. Dan negara dibuat tak berdaya.

Budaya kekerasan ini berimbas kepada lahirnya manusia-manusia sadis. Kriminalitas tumbuh sampai taraf yang mengkhawatirkan. Pembunuhan terjadi dengan berbagai modus. Ada mutilasi (kasus Benget di Jakarta Timur) bahkan kepada orang terdekatnya (istri), menggunakan pembunuh bayaran (kasus Holly), dibunuh lalu dimasukkan koper (kasus Tante Heny), dibunuh pasangan suami istri (kasus penari telanjang) dan sebagainya.

Sementara dii kalangan remaja terjadi degradasi moral yang luar biasa. Seks bebas menggejala. Video mesum tak hanya dibuat kalangan dewasa, tapi remaja bahkan siswa SMP. Bahkan ada pelajar SMP di Surabaya yang menjadi mucikari untuk kawan-kawannya sendiri. Tak heran jika sekarang anak seusia SD pun ada yang melahirkan (kasus di Musi Banyuasin, Sumsel).

Tingginya angka perilaku seks bebas berimbas pada bertambahnya jumlah pengidap HIV/AIDS di kalangan remaja. Nah, demi mengerem wabah penyebaran virus HIV, pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama DKT Indonesia dan Kementerian Kesehatan kemudian menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada 1 Desember hingga 7 Desember lalu dengan membagikan kondom secara gratis. Kebijakan ini disinyalir akan kian menyuburkan seks bebas. Tapi program ini dihentikan di tengah jalan setelah mendapat tantangan keras dari berbagai pihak.

Di sisi lain, pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan generasi terbaik, gagal. Banyak koruptor justru pernah mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan diantaranya ada yang bergelar profesor dan doktor. Terbukti, pendidikan yang berjalan kering dari nilai-nilai moral dan etika, apalagi agama. Yang terlahir justru generasi yang permisif, hedonis, materalis, dan individualis.

Pemerintah sendiri seperti tak peduli dengan nasib generasi ini. Perhelatan Miss World digelar di Indonesia dengan berbagai dalih. Padahal semua tahu perhelatan itu adalah ajang eksploitasi wanita oleh kaum kapitalis. Akibat tekanan dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan ormas Islam, akhirnya kontes Miss World dipindahkan ke Bali. Seolah dengan cara itu pemerintah telah berbuat kebaikan, padahal esensi ekploitasinya tetap saja terjadi.

Internasional: Umat Islam Teraniaya

Situasi dunia Islam belum berubah. Bahkan di beberapa tempat makin buruk. Umat Islam menjadi keganasan berbagai rezim. Di Suriah, lebih dari 150 ribu kaum Muslim dibantai oleh rezim Bashar Assad. Anehnya, dunia membiarkan pembunuhan massal tersebut.

Di Mesir, rezim militer Mesir dipimpin Abdul Fatah As Sisi menggulingkan pemerintahan Mursi yang baru berkuasa secara sah selama setahun. Kudeta ini menyebabkan konflik berkepanjangan. Rakyat menjadi sasaran kekejaman tentara.

Di Palestina, umat Islam masih menjadi bulan-bulanan tentara Israel. Rumah-rumah mereka dihancurkan dan diganti dengan permukiman Yahudi. Bahkan bagian bawah Masjid Al Aqsha dibuat terowongan untuk membangun tempat peribadatan kaum terlaknat tersebut. Umat Islam di Gaza diblokade dari segala penjuru. Terowongan yang menghubungkan Gaza-Mesir dihancurkan. Sementara itu, di Afghanistan umat Islam terus dijajah oleh Amerika Serikat dan penguasanya sendiri.

Di belahan dunia Islam lainnya, kaum minoritas Muslim tak beranjak dari kondisi terpuruk. Muslim di Xinjiang (Cina), Rohingya (Myanmar), dan Pattani (Thailand) berjuang untuk membebaskan diri dari kekejaman rezim penguasa. Sementara di Barat, minoritas Muslim sering mendapatkan perlakukan diskriminatif. Mereka semua tak bisa berbuat banyak, kecuali bertahan dan membela diri dengan kemampuan yang ada.

Di sisi lain, negara adidaya Amerika Serikat mulai berjalan gontai. Krisis ekonomi membuat negara itu limbung. Utang kian menumpuk. Rezim Obama bersitegang dengan Kongres terkait anggaran belanja negara sehingga pemerintahan AS sempat mengalami shutdown Oktober lalu karena rencana pemerintah menambah utang tak disetujui oleh Kongres.

Tidak hanya krisis ekonomi, AS pun mengalami krisis sosial. Kriminalitas meningkat, termasuk pembunuhan massal. Di penghujung tahun, markas Angkatan Laut diserang, 13 tewas. Demikian pula pengangguran dan kemiskinan mulai tampak. Gelandangan terlihat di beberapa sudut kota. Kendati begitu, AS secara militer merasa masih cukup kuat. Dengan kemajuan teknologinya, AS menyadap puluhan negara termasuk Indonesia. Aksi Amerika ini dibantu oleh sekutunya yakni Australia dan Inggris. Banyak negara marah atas aksi Amerika itu. Tapi tidak demikian dengan Indonesia. Rezim SBY tak berani protes kepada AS. Dan kepada Australia, SBY hanya mengirim surat dan menarik duta besar Indonesia dari Canberra. Begitu PM Australia Abbot menyatakan Australia tidak akan menghentikan aksi penyadapannya, SBY juga diam saja. Tak bisa apa-apa.


Akar Masalah

Krisis politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi, dan sebagainya yang terjadi di dunia, khususnya di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, saat ini, tidak dapat dipisahkan dari ideologi Kapitalisme. Artinya, ideologi Kapitalisme yang diterapkan itulah yang menjadi sumber dan akar berbagai krisis tersebut. Sebagaimana diketahui, ide dasar Kapitalisme adalah sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dengan kehidupan. Sumber hukum dalam ideologi ini dari akal semata, karena pada satu sisi keberadaan Tuhan diakui, namun di sisi lain manusialah yang dianggap layak untuk menetapkan berbagai aturan.

Ideologi merupakan pandangan hidup yang menjadi asas dalam berbagai aspek kehidupan negara, seperti ekonomi, politik, budaya, hukum, pemerintahan dan lainnya. Di Indonesia, Kapitalisme telah dipilih oleh pemerintah Orde Baru sebagai landasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan saat itu yang dihadapi saat itu. Diantaranya melakukan liberalisasi ekonomi dan pasar, serta mengikatkan diri dengan IMF dan Bank Dunia yang memberikan utang. Pada sisi lain, Indonesia harus membuka pasar dan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi oleh pihak asing atas nama investasi dan pembangunan ekonomi.

Di era reformasi, Indonesia semakin menyempurnakan agenda kapitalistiknya. Lahir berbagai undang-undang yang pro-kapitalis seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan dan sebagainya. Berdasarkan UU liberal inilah berbagai kebijakan ekonomi dikeluarkan yang kenyataannya justru menimbulkan berbagai problem baru. Misalnya, kemiskinan dan pengangguran bukannya menurun, justru terus meningkat. Kekayaan sumber alam dikeruk asing, sementara utang negara terus menumpuk.

Kapitalisme gagal menyejahterakan warga dunia. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan struktural, dan hanya menyenangkan para kapitalis. Meskipun terbukti gagal, namun kapitalisme masih bisa bertahan hingga saat ini. Penyebabnya karena adanya dukungan imperialisme atau penjajahan global. Kapitalisme bersama turunannya yakni liberalisme, pluralisme, demokrasi, dan HAM dipaksakan oleh para kapitalis yang bekerja sama dengan kaum imperialis agar dijadikan ideologi oleh negara-negara di dunia. Tujuannya agar mereka bisa menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk mengeruk kekayaan negara-negara tersebut dan menguasasinya secara politik.

Secara politik, AS dan Eropa, menjajakan sistem demokrasi yang dikatakan sebagai sistem politik yang akan membawa pada kehidupan yang lebih baik, sejahtera, dan modern. Padahal kenyataannya, demokrasi yang bertumpu pada ide liberalisme (kebebasan) ini telah menciptakan berbagai bencana yang menimpa umat manusia di seluruh dunia. Ide ini telah mengakibatkan berbagai krisis global serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di dunia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh ide liberalisme di negeri-negeri Muslim secara ringkas dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pertama, kebebasan beragama. Dalam demokrasi seseorang bebas untuk beragama ataupun tidak beragama. Seseorang juga bebas untuk berpindah-pindah agama, sehingga agama menjadi sekedar asesoris seperti halnya pakaian yang bisa diganti setiap saat. Maka bisa dipastikan, generasi yang tumbuh dalam sistem demokrasi akan semakin memandang remeh ajaran agama. Mereka tak segan berpindah agama sekedar untuk memenuhi persyaratan pernikahan misalnya. Akhirnya agama sekedar didudukkan sebagai penanda status seseorang, sama seperti suku, komunitas, dsb.

Kedua, kebebasan berpendapat. Dalam demokrasi, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun. Tak penting, pendapat atau ide itu sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Satu-satunya tolok ukur yang dipakai adalah kebebasan itu sendiri, serta kepentingan, baik kepentingan diri maupun kelompoknya. Karenanya, undang-undang dan peraturan yang lahir dari gedung parlemen pada dasarnya sekadar alat untuk mengakomodir kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan rakyat. Sebagai contoh, rencana kenaikan BBM beberapa waktu lalu ditentang oleh hampir seluruh rakyat di negeri ini, namun tetap saja disetujui oleh anggota DPR. Itu merupakan bukti bahwa mereka memang tidak pernah peduli pada kepentingan rakyat sehingga tidak layak disebut sebagai wakil rakyat. Hasilnya, para anggota dewan saat ini ‘sukses’ mensejahterakan dirinya dan partainya, sementara rakyat makin terjepit dalam penderitaan.

Ketiga, kebebasan kepemilikan. Kebebasan ini memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki harta sekaligus mengembangkannya. Hal ini menjadi jalan bagi para kapitalis yang berkolaborasi dengan penguasa di negeri ini untuk menjarah kekayaan alam yang notabene milik seluruh rakyat. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat. Di sektor migas misalnya, saat ini di Indonesia ada 60 kontraktor penguasa migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok Super Major (ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco) yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Kelompok Major (Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex) yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Terakhir kelompok perusahaan independen yang menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen.

Ironisnya, pada satu sisi perusahaan migas asing tersebut leluasa mengeruk kekayaan negeri ini, pada sisi lain Indonesia jatuh dalam perangkap utang. Total utang Pemerintah Pusat per 30 September 2013 sudah mencapai Rp 2.274 triliun. Menurut data Kementerian Keuangan (28/10/2013), rencana cicilan pokok dan bunga utang 2013 sebesar Rp 299,708 triliun (cicilan pokok Rp 186, 5 dan cicilan bunga Rp 113,2 triliun) atau 17,3 % dari belanja APBN-P 2013.

Kebijakan yang tidak pro rakyat ini muncul dari pola pikir pemerintah yang liberal dan kapitalistik yang didukung oleh DPR yang melahirkan UU dan regulasi yang liberal dan kapitalistik seperti UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan UU Minerba no. 4 Tahun 2009. Pada kasus PT Freeport Indonesia misalnya, Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp 75–100 triliun pertahun seandainya pengelolaan tambang itu dikelola oleh negara bukan asing.

Korporasi asing disamping membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya, juga membutuhkan pasar untuk produk-produk industrinya. Hal inilah yang mendorong negara-negara kapitalis bersaing guna menjajah sebuah negara melalui lembaga yang mereka bentuk, seperti IMF, WTO, dan APEC. Tujuan utamanya tentu saja untuk mengeksploitasi kekayaan alam mereka serta mengendalikan berbagai kebijakan ekonomi dan politik di negara tersebut.

Keempat, kebebasan bertingkah laku. Kebebasan berperilaku ini telah menyuburkan berbagai penyakit sosial. Menurut data Kementerian Kesehatan, jika tidak ada program terobosan dalam penanggulangan HIV/AIDS maka pada tahun 2025 akan ada 1.817.700 orang terinfeksi AIDS. Anehnya, penanggulangan HIV/AIDS tersebut yang digagas Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama Kementerian Kesehatan adalah dengan menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada awal Desember lalu. Padahal kampanye PKN tersebut lebih tepat disebut sebagai kampanye pada seks bebas dan iklan penggunaan kondom yang akan menguntungan perusahaan kondom.

Tingginya penderita penyakit HIV/AIDS tersebut sebagai pertanda suburnya praktik seks bebas dan zina di negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Pemicunya tentu saja adalah kebebasan tingkah laku yang dipertontonkan melalui berbagai tayangan berbau porno di berbagai tv dan media cetak. Termasuk pagelaran yang menampilkan kecantikan wanita seperti acara Miss World di Bali beberapa waktu lalu. Semua itu berkontribusi nyata terhadap kerusakan akhlak masyarakat, namun pemerintah tidak berdaya mencegahnya karena alasan kebebasan bertingkah laku.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2013 sebagaimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Setiap penerapan sistem sekuler, yakni sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta, pasti akan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi umat manusia. Dikuasainya sumber daya kekayaan alam negeri ini oleh kekuatan asing, maraknya korupsi di seluruh sendi di seantero negeri, konflik horizontal yang tiada henti, kenakalan dan kriminalitas di kalangan remaja yang tumbuh di mana-mana adalah bukti nyata dari kerusakan dan kerugian itu. Ditambah dengan kedzaliman yang diderita umat di berbagai negara, serta sulitnya perubahan ke arah Islam dilakukan oleh karena dihambat oleh negara Barat yang tidak kehilangan kendali kontrol atas wilayah-wilayah di Dunia Islam, semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera kembali kepada jalan yang benar, yakni jalan yang diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur, terutama kapitalisme yang nyata-nyata sangat merusak dan merugikan umat manusia.
  2. Demokrasi dalam teorinya adalah sistem yang memberikan ruang kepada kehendak rakyat. Tapi dalam kenyataannya negara-negara Barat tidak pernah membiarkan rakyat di negeri-negeri muslim membawa negaranya ke arah Islam. Mereka selalu berusaha agar sistem yang diterapkan tetaplah sistem sekuler meski dibolehkan dengan selubung Islam, serta penguasanya tetaplah mereka mau berkompromi dengan kepentingan Barat. Itulah yang terjadi saat ini di negeri ini, sebagaimana tampak dari proses legislasi di parlemen dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah, khususnya di bidang ekonomi dan politik yang sangat pro terhadap kepentingan Barat. Cengkeraman Barat juga tampak di negeri-negeri muslim yang tengah bergolak seperti di Suriah, begitu juga di Mesir dan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Kenyataan ini juga semestinya memberikan peringatan umat Islam untuk tidak mudah terkooptasi oleh kepentingan negara penjajah. Juga peringatan kepada penguasa dimanapun untuk menjalankan kekuasaannya dengan benar, penuh amanah demi tegaknya kebenaran Islam, bukan demi memperturutkan nafsu serakah kekuasaan dan kesetiaan pada negara penjajah.
  3. Bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini seperti sebagiannya telah diuraikan di atas, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Islam dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu. Di sinilah esensi seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah yang gencar diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
  4. Karena itu, harus ada usaha sungguh-sungguh dengan penuh keikhlasan dan kesabaran serta kerjasama dari seluruh komponen umat Islam di negeri ini untuk menghentikan sekularisme dan menegakkan syariah dan khilafah. Hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh seorang khalifah, Indonesia dan juga dunia, benar-benar bisa menjadi baik. Syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan dan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian sehingga kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi.

Insya Allah

Nestapa Ibu Akibat Perdagangan Bebas

Liberalisasi Ekonomi: Kebijakan Sesat

Sejak Indonesia diterpa krisis ekonomi tahun 1997, aroma kebebasan atau liberalisasi di bidang ekonomi semakin tajam. Karena kesulitan ekonomi, Indonesia bergantung pada pinjaman pihak asing  terutama  dari lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF).  Sebagai pihak pemberi utang, IMF berkuasa bagai raja.  Mereka bisa memaksa pemerintah Indonesia menandatangai kesepakatan - yang disebut Letter of Intens - sekalipun kesepakatan itu merugikan rakyat.

Pasca penandatanganan  Letter of Intens (LoI), pemerintah dipaksa untuk menjalankan  resep-resep ala IMF, diantaranya mengharuskan negara untuk memasukkan produk impor secara  bebas dan kebijakan keuangan dalam negeri sesuai arahan IMF.  Pemerintah menata ulang peraturan agar sesuai dengan keinginan asing, yang diwakili IMF.  Yang terjadi kemudian, intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimalisir untuk menghindari distorsi pasar. Artinya pemerintah tidak boleh terlalu ikut  campur menentukan harga barang, sehingga harga barang bebas naik-turun sesuai jumlah permintaan dan ketersediaan barang di pasar.

Resep berikutnya adalah  privatisasi seluas-luasnya dalam bidang ekonomi termasuk bidang-bidang yang selama ini dikuasai oleh negara. Perusahaan swasta (privat) termasuk milik asing harus diberi kesempatan untuk melakukan bisnis pada sektor layanan umum  (publik) - seperti air, kesehatan, jalan, transportasi dan sebagainya- yang mengusai hajat hidup orang banyak yang semestinya dikelola pemerintah untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan bangsa.

Liberalisasi pun menggelinding pada seluruh kegiatan ekonomi. Semua proteksi diupayakan untuk dihilangkan. Pemerintah disetir harus menghilangkan semua kemudahan yang diterima masyarakat agar mereka bisa bersaing dengan pihak manapun, termasuk pihak asing.  Sehingga subsidi bagi petani, seperti subsidi pengadaan pupuk dan benih harus dihilangkan, sama seperti mengurangi subsidi BBM dan listrik pada masyarakat umum. Tak hanya itu, arus masuk investasi asing dibuka dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan lebih longgar.

Ketika semua kebijakan itu dijalankan, akibat yang langsung dirasakan adalah meningkatnya kemiskinan. Angka kemiskinan naik menjadi 49,50 Juta atau sekitar 24,23 % dari jumlah penduduk Indonesia, dari hanya 34,01 Juta (17,47 %) pada tahun 1996.

Dari sini bisa dilihat bahwa program liberalisasi ekonomi sejauh ini telah membuat Indonesia kewalahan, bahkan boleh dibilang tidak sanggup menyelesaikan persoalan ekonominya. Padahal dibelakang program ini telah menanti program lain yang tak kalah kejamnya dalam mematikan perekonomian bangsa ini.  Serangkaian agenda ekonomi yang terus digulirkan memaksa Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya untuk membuka pasar bagi negara maju.  Pasar bebas dalam berbagai bentuknya terus dibesarkan opininyadan masyarakat dipaksa untuk menerima semua akibat buruknya. Komunitas Ekonomi ASEAN tahun 2015 adalah salah satu contohnya. Hasil KTT APEC bulan September lalu juga merekomendasikan hal senada. Begitu pula agenda organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization) yang melangsungan Konferensi Tingkat Menteri di Bali pada tanggal 3 – 8 Desember 2013. Semuanya menekankan pada komitmen menuju pasar bebas. Padahal jelas telah terjadi bagaimana kerugian yang akan diterima Indonesia manakala pasar bebas ini benar-benar berjalan.

Derita Ibu Akibat Liberalisasi Ekonomi

Kemiskinan akan mendorong wanita mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehingga masuklah wanita-wanita ini ke bursa kerja. Kentalnya liberalisme tampak pada kebolehan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan perutnya asal tidak melanggar kebebasan orang lain. Maraklah prostitusi, lelang keperawanan, jualan organ tubuh, dan sebagainya.

Kemiskinan  telah menggerakkan perempuan, termasuk para ibu bekerja untuk mencari nafkah demi kebutuhan perutnya. Dari total populasi 112 juta jumlah pekerja di Indonesia, ada 43 juta pekerja perempuan yang membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Itu artinya, jumlah pekerja perempuan hampir sama besarnya dengan pekerja laki-laki.

Sementara itu berbagai kebijakan seperti privatisasi, penghapusan subsidi dan yang lainnya telah menambah beban jam kerja para perempuan, yang mayoritas adalah  ibu-ibu.  Tak sedikit perempuan pekerja yang harus mematuhi jam kerja 20 jam sehari. Selain beban jam kerja, masih banyak problem yang melingkupi ibu pekerja perempuan ketika berhadapan dengan birokrasi perusahaan tempatnya bekerja, seperti pelecehan seksual di tempat kerja, sulitnya mendapatkan cuti haid dan melahirkan, upah yang rendah dan sebagainya.

Buruh migran juga mendapati hal serupa.  Para buruh perempuan berada di bawah ancaman  diputus kontrak bila mereka mengeluh soal perlakuan yang dialami.  Disamping itu problem yang dihadapi pada kenyataannya tidak berhenti hanya di tempat kerja, tapi juga di rumah.  Termasuk problem kesehatan yang dihadapi ibu-ibu buruh. Tingkat perceraian yang cukup tinggi ternyata mewarnai kehidupan mereka.  Tak hanya itu, tak sedikit  ibu-ibu yang tidak mendapatkan hak untuk memberikan ASI eksklusif terhadap anaknya. Buruh perempuan juga rentan terserang penyakit termasuk HIV/AIDS.

Regulasi Pemerintah Menyengsarakan Ibu

Pemerintah bukannya tak menangkap persoalan ini.  Sebab ini adalah persoalan yang sangat mudah diprediksi ketika pemerintah mengadopsi sistem ekonomi liberal. Bahkan peringatan dari berbagai elemen masyarakat dan LSM yang ada sudah sangat nyaring terdengar agar pemerintah menolak aruskebebasan gaya baru yang disebut neoliberalisasi di bidang ekonomi ini. Namun, bak pepatah: “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu” pemerintah tak bergeming, seolah “nasi telah menjadi bubur” pemerintah tak mampu lepas dari cengkeraman liberalisme ini. Sebaliknya justru upaya yang dilakukan pemerintah semakin memperkokoh keberadaan liberalisme.

Saat menyadari bahwa penyebab utama persoalan yang melingkupi perempuan adalah kemiskinan, maka seharusnya pemerintah mengambil langkah untuk menyelesaikan kemiskinan. Tapi, fakta hari ini tidaklah demikian. Pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Akibatnya para ibu terpaksa keluar rumah untuk membantu suami mencari nafkah.  Ada pula ibu yang terpaksa harus mencari nafkah sendiri karena suami atau keluarganya tidak memiliki tanggung jawab bahkan melepaskan tanggung jawab untuk menafkahinya. Mereka terpaksa harus meninggalkan rumah dan anak-anak mereka beratus-ratus kilometer atau bahkan bertahun-tahun untuk sekedar mengejar kebutuhan perut.

Keterpaksaan ini bukannya diakhiri, tapi malah disokong dengan berbagai regulasi yang ada. Nama pahlawan devisa disematkan pada para TKI dan TKW yang mengadu nasib di rantau orang.  Mereka dianggap pahlawan penolong perekonomian bangsa karena mereka bisa menghasilkan uang sendiri dan imbasnya akan mendongkrak pendapatan perkapita negara. Program pemberdayaan ekonomi perempuan diluncurkan untuk mendorong perempuan bekerja. Ini berarti kebijakan pemerintah justru menfasilitasi untuk bekerja dan menghasilkan uang sendiri.

Di sisi lain, ditengah masyarakat dikembangkan opini tentang sosok perempuan yang sukses. Yakni mereka adalah perempuan yang memiliki usaha dan tidak bergantung pada suami, bukan seorang ibu yang mampu mencetak anak-anaknya menjadi generasi yang berakhlaq mulia. Artinya opini yang tumbuh ditengah masyarakat telah menghilangkan fitrah seorang ibu yang seharusnya berada dirumah untuk mendidik anak-anaknya.

Tak hanya itu adanya advokasi dari berbagai gerakan perempuan melalui berbagai regulasi perlindungan pekerja perempuan seperti UU tentang pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja dan keharusan perusahaan membuat tempat penitipan anak (daycare) membuat  para ibu semakin berani keluar rumah, semakin nyaman dan merasa terlindungi. Ini menyebabkan fenomena kaum migran menjadi kian marak.

Walhasil jika ini yang terjadi, regulasi pemerintah tak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi para ibu. Karena memang solusinya tak pernah menyentuh akar persoalan. Yang ada justru membuat persoalan baru semakin banyak bermunculan dan semakin pelik untuk diselesaikan karena saling berkelindan satu dengan lainnya.

Ibu Menjadi Mulia Hanya Dengan Islam

Perbedaan pandangan antara Islam dan Liberalisme (Kapitalisme) dalam hal ini memang sangat nyata. Diawali dengan perbedaan yang signifikan terhadap peran dan fungsi perempuan di tengah masyarakat hingga persoalan-persoalan yang menyangkut keluarga dan keberlangsungan generasi. Islam memberikan banyak aturan pada perempuan bukan karena ingin menindas perempuan. Sebab aturan yang sangat banyak dan rinci itu dibuat sesuai dengan fitrah manusia sebagai perempuan.

Islam memandang perempuan dengan tepat dan mendudukannya pada posisi yang mulia. Yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ini adalah posisi yang sangat strategis. Sebab masa depan generasi dan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh posisi ini. Maka proses pendidikan pada anak yang dilakukan oleh kaum ibu menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa.

Adapun kewajiban mencari nafkah dibebankan pada kaum laki-laki. Bukan untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan. Tapi peran ini diberikan sesuai dengan kemampuan fisik dan tanggung jawab yang diberikan Allah swt pada laki-laki. Dan ketika masing-masing pihak saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat dengan tetap fokus pada peran yang sudah ditetapkan, maka ketentraman dalam sebuah masyarakat akan terwujud.

Di lain pihak, Islam mengatur bagaimana Negara memberikan jaminan terhadap terpenuhinya semua kebutuhan pokok rakyatnya.  Islam menyerahkan tugas ini bukan pada pundak individu atau sebagian orang, apalagi seorang ibu. Islam memberikan solusi untuk mengentaskan kemiskinan melalui distribusi kekayaan yang dibebankan pada negara untuk mengaturnya. Dengan demikian, ibu-ibu tak perlu bersusah payah menghidupi dirinya dengan menghabiskan waktu sekian banyak di luar rumah. Maka nyatalah Islam memuliakan para ibu. Karena itu memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan menjadi keharusan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. [duniaterkini.com]

Penulis: Siti Nuryati, S.TP, M.Si

Polwan Ketaatanmu Tergadaikan

Jilbab, identitas bagi muslimah yang taat. Sering kita dengar ungkapan “Muslimah taat tentu berjilbab, namun belum tentu muslimah berjilbab adalah mereka yang taat”. Dalam versi kebanyakan orang Indonesia, jilbab adalah penutup kepala. Namun sejatinya jilbab adalah pakaian yang menjulur dari atas hingga bawah seperti terowongan. Sedangkan penutup kepala adalah khimar (kerudung).  Kita bukan hendak membahas perbedaan ini, namun menguak tabir pelarangan kerudung bagi polwan. Hidup di zaman kapitalisme menjadikan hukum manusia sebagai tolok ukur. Belum lama ini marak kondomisasi, fenomena penundaan kerudung oleh polisi wanita. Beginilah hidup di zaman dimana aturan manusia yang menjadi tolok ukur. Aturan Allah lolos dari saringan (diabaikan).

Kerudung merupakan kewajiban seorang muslim, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An Nur ayat 31 yang artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”

Sedangkan batasan aurat wanita adalah sebagaimana hadis riwayat Abu Dawud ‘Sesungguhnya anak perempuan apabila telah haidh  tidak dibenarkan terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai persendian (pergelangan tangan). (HR Abu Dawud).

Dalam hal ini jelaslah rambut haruslah ditutup, yang boleh nampak pada diri muslimah hanyalah muka dan telapak tangan. Kewajiban menutup aurat tidak pandang bulu, suku, pekerjaan dan lainnya. Selama dia muslimah maka wajib padanya menutup aurat.  Polwan muslimah juga hamba Allah yang menginginkan ridha-Nya, namun karena sistem yang dianut negeri ini mengakar pada kapitalisme, kini kewajiban tersebut terhalang. Beberapa waktu lalu Kapolri baru Jenderal Sutarman membolehkan Polwan mengenakan kerudung, dimentahkan Wakapolri Oegraseno. Polwan yang pengin pakai jilbab (kerudung versi Indonesia) pindah saja ke Aceh yang membolehkan Polwan pakai jilbab. Atau Polwan yang ngotot  pakai jilbab jadi intel saja.

Pernyataan Oegraseno sungguh telah menyakiti hati kaum muslim yang ingin taat. Dalam berpakaian syar’i begitu susahnya, di sisi lain kampanye kondom yang jelas-jelas merusak generasi muslim kian digencarkan. Saatnya umat bangkit dan bersatu mengganti sistem kapitalisme menuju sistem Islam.  
 
[Anna Mujahidah Mumtazah/duniaterkini.com]

Membabat Gurita Seks Bebas

Fenomena seks bebas di kalangan remaja di Indonesia kian menggurita. Dulu, seks bebas adalah suatu aib dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun remaja masa kini sudah banyak yang tak peduli lagi. Mereka tak malu-malu mempertontonkan aktivitas umbar syahwat itu, baik melalui media ataupun secara terang-terangan di muka  umum. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana murid sebuah SMP negeri di Jakarta berbuat mesum di dalam kelas dengan disaksikan teman-temannya. Ternyata itu bukan satu-satunya kejadian di negeri ini, masih banyak kejadin serupa yang beritanya tak seramai itu.

Perilaku seks bebas pada remaja dipicu oleh mudahnya akses terhadap materi pornografi dan pornoaksi, baik itu melalui media cetak serta media elektronik seperti TV, HP dan internet. Padahal benteng keimanan mereka tak terbagun dengan kokoh akibat sistem pendidikan sekuler. Sehingga remaja yang pada dasarnya suka mencoba-coba, tergoda untuk menjajal permainan baru itu.

Hal ini diperparah dengan melemahnya kontrol sosial dalam masyarakat. Masyarakat tidak peduli dengan aktivitas yang mendekati zina yang terjadi di tengah mereka. Remaja berpacaran, berdua-duaan, berpegangan tangan, dan lain sebagainya dianggap hal yang wajar dan dibiarkan begitu saja.

Peran serius dari pemerintah juga susah diharapkan. Kasus perbuatan murid SMP di atas saja, jika tidak merebak isunya di tengah masayarakat, belum tentu mendapat penanganan serius pemerintah. pun tidak ada pencegahan sistemik yang dilakukan untuk menjaga remaja dari pengaruh pornografi dan pornoaksi.

Jika kaum remaja sudah sedemikian terjerumus dalam seks bebas, apa yang bisa kita harapkan dari mereka? Mampukah mereka memikul tanggungjawab besar berupa masa depan ummat? Tentu saja tidak. Yang ada, mereka sibuk bergumul dengan syahwatnya, menjadi generasi yang lemah akalnya dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Sehingga kita tidak bisa membiarkan hal ini, sudah seharusnya kita libas fenomena ini dengan tuntas.

Akar dari permasalahan ini adalah keberadaan sistem hidup yang serba permisif, mengagungkan kebebasan dan mencampakkan peran agama dalam kehidupan. Sementara sistem  Islam memiliki tatanan hidup yang khas yang mampu menghentikan dan mencegah terjadinya seks bebas, yaitu tindakan preventif dan kuratif.

Tindakan preventif dalam Islam adalah dengan pengaturan pakaian dan pergaulan. Islam mewajibkan laki-laki dan perempuan menutup aurat secara sempurna di dalam area publik, ditambah dengan kewajiban menundukkan/menahan pandangan serta menjaga kehormatan. Pengaturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan (larangan ikhtilat/bercampurbaur, dan khalwat/berdua-duaan) juga sangat efektif mencegah terjadinya seks bebas.

Di sisi lain, pemerintah berkewajiban menutup rapat-rapat akses terhadap pornografi dan pornoaksi yang dapat memicu timbulnya syahwat. Tidak hanya di dunia nyata, di internet pun pemerintah dengan dukungan teknologi canggih wajib mengerahkan segenap upaya menghadap situs dan konten porno.

Sementara dari segi kuratif, Islam menetapkan sanksi jilid (cambuk) bagi pelaku seks bebas yang belum menikah, dan rajam bagi pelaku seks bebas (zina) yang sudah ataupun pernah menikah. Tanpa pandang bulu siapapun pelakunya.

Lalu, apakah dengan sistem demokrasi sekarang ini semua aturan di atas bisa diterapkan? ternyata tidak, aturan di atas sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan yang dimiliki demokrasi. Mau tidak mau, kita harus menggunakan sistem pemerintahan yang mengakomodir diberlakukannya semua aturan di atas, yaitu sistem Islam, dengan negara Khilafah.

Jadi, jika kita ingin membabat gurita perilaku seks bebas dan ingin mewujudkan generasi muda yang tangguh, maka terapkanlah sistem Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. 
 
Copyright © 2015. Muslim Magazine.
Design by Herdiansyah Hamzah. Published by Themes Paper. Distributed By Kaizen Template Powered by Blogger.
Creative Commons License