Liberalisasi Ekonomi: Kebijakan Sesat
Sejak Indonesia diterpa krisis ekonomi tahun 1997, aroma kebebasan atau liberalisasi di bidang ekonomi semakin tajam. Karena kesulitan ekonomi, Indonesia bergantung pada pinjaman pihak asing terutama dari lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF). Sebagai pihak pemberi utang, IMF berkuasa bagai raja. Mereka bisa memaksa pemerintah Indonesia menandatangai kesepakatan - yang disebut Letter of Intens - sekalipun kesepakatan itu merugikan rakyat.
Pasca penandatanganan Letter of Intens (LoI), pemerintah dipaksa untuk menjalankan resep-resep ala IMF, diantaranya mengharuskan negara untuk memasukkan produk impor secara bebas dan kebijakan keuangan dalam negeri sesuai arahan IMF. Pemerintah menata ulang peraturan agar sesuai dengan keinginan asing, yang diwakili IMF. Yang terjadi kemudian, intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimalisir untuk menghindari distorsi pasar. Artinya pemerintah tidak boleh terlalu ikut campur menentukan harga barang, sehingga harga barang bebas naik-turun sesuai jumlah permintaan dan ketersediaan barang di pasar.
Resep berikutnya adalah privatisasi seluas-luasnya dalam bidang ekonomi termasuk bidang-bidang yang selama ini dikuasai oleh negara. Perusahaan swasta (privat) termasuk milik asing harus diberi kesempatan untuk melakukan bisnis pada sektor layanan umum (publik) - seperti air, kesehatan, jalan, transportasi dan sebagainya- yang mengusai hajat hidup orang banyak yang semestinya dikelola pemerintah untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan bangsa.
Liberalisasi pun menggelinding pada seluruh kegiatan ekonomi. Semua proteksi diupayakan untuk dihilangkan. Pemerintah disetir harus menghilangkan semua kemudahan yang diterima masyarakat agar mereka bisa bersaing dengan pihak manapun, termasuk pihak asing. Sehingga subsidi bagi petani, seperti subsidi pengadaan pupuk dan benih harus dihilangkan, sama seperti mengurangi subsidi BBM dan listrik pada masyarakat umum. Tak hanya itu, arus masuk investasi asing dibuka dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan lebih longgar.
Ketika semua kebijakan itu dijalankan, akibat yang langsung dirasakan adalah meningkatnya kemiskinan. Angka kemiskinan naik menjadi 49,50 Juta atau sekitar 24,23 % dari jumlah penduduk Indonesia, dari hanya 34,01 Juta (17,47 %) pada tahun 1996.
Dari sini bisa dilihat bahwa program liberalisasi ekonomi sejauh ini telah membuat Indonesia kewalahan, bahkan boleh dibilang tidak sanggup menyelesaikan persoalan ekonominya. Padahal dibelakang program ini telah menanti program lain yang tak kalah kejamnya dalam mematikan perekonomian bangsa ini. Serangkaian agenda ekonomi yang terus digulirkan memaksa Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya untuk membuka pasar bagi negara maju. Pasar bebas dalam berbagai bentuknya terus dibesarkan opininyadan masyarakat dipaksa untuk menerima semua akibat buruknya. Komunitas Ekonomi ASEAN tahun 2015 adalah salah satu contohnya. Hasil KTT APEC bulan September lalu juga merekomendasikan hal senada. Begitu pula agenda organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization) yang melangsungan Konferensi Tingkat Menteri di Bali pada tanggal 3 – 8 Desember 2013. Semuanya menekankan pada komitmen menuju pasar bebas. Padahal jelas telah terjadi bagaimana kerugian yang akan diterima Indonesia manakala pasar bebas ini benar-benar berjalan.
Derita Ibu Akibat Liberalisasi Ekonomi
Kemiskinan akan mendorong wanita mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehingga masuklah wanita-wanita ini ke bursa kerja. Kentalnya liberalisme tampak pada kebolehan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan perutnya asal tidak melanggar kebebasan orang lain. Maraklah prostitusi, lelang keperawanan, jualan organ tubuh, dan sebagainya.
Kemiskinan telah menggerakkan perempuan, termasuk para ibu bekerja untuk mencari nafkah demi kebutuhan perutnya. Dari total populasi 112 juta jumlah pekerja di Indonesia, ada 43 juta pekerja perempuan yang membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Itu artinya, jumlah pekerja perempuan hampir sama besarnya dengan pekerja laki-laki.
Sementara itu berbagai kebijakan seperti privatisasi, penghapusan subsidi dan yang lainnya telah menambah beban jam kerja para perempuan, yang mayoritas adalah ibu-ibu. Tak sedikit perempuan pekerja yang harus mematuhi jam kerja 20 jam sehari. Selain beban jam kerja, masih banyak problem yang melingkupi ibu pekerja perempuan ketika berhadapan dengan birokrasi perusahaan tempatnya bekerja, seperti pelecehan seksual di tempat kerja, sulitnya mendapatkan cuti haid dan melahirkan, upah yang rendah dan sebagainya.
Buruh migran juga mendapati hal serupa. Para buruh perempuan berada di bawah ancaman diputus kontrak bila mereka mengeluh soal perlakuan yang dialami. Disamping itu problem yang dihadapi pada kenyataannya tidak berhenti hanya di tempat kerja, tapi juga di rumah. Termasuk problem kesehatan yang dihadapi ibu-ibu buruh. Tingkat perceraian yang cukup tinggi ternyata mewarnai kehidupan mereka. Tak hanya itu, tak sedikit ibu-ibu yang tidak mendapatkan hak untuk memberikan ASI eksklusif terhadap anaknya. Buruh perempuan juga rentan terserang penyakit termasuk HIV/AIDS.
Regulasi Pemerintah Menyengsarakan Ibu
Pemerintah bukannya tak menangkap persoalan ini. Sebab ini adalah persoalan yang sangat mudah diprediksi ketika pemerintah mengadopsi sistem ekonomi liberal. Bahkan peringatan dari berbagai elemen masyarakat dan LSM yang ada sudah sangat nyaring terdengar agar pemerintah menolak aruskebebasan gaya baru yang disebut neoliberalisasi di bidang ekonomi ini. Namun, bak pepatah: “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu” pemerintah tak bergeming, seolah “nasi telah menjadi bubur” pemerintah tak mampu lepas dari cengkeraman liberalisme ini. Sebaliknya justru upaya yang dilakukan pemerintah semakin memperkokoh keberadaan liberalisme.
Saat menyadari bahwa penyebab utama persoalan yang melingkupi perempuan adalah kemiskinan, maka seharusnya pemerintah mengambil langkah untuk menyelesaikan kemiskinan. Tapi, fakta hari ini tidaklah demikian. Pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Akibatnya para ibu terpaksa keluar rumah untuk membantu suami mencari nafkah. Ada pula ibu yang terpaksa harus mencari nafkah sendiri karena suami atau keluarganya tidak memiliki tanggung jawab bahkan melepaskan tanggung jawab untuk menafkahinya. Mereka terpaksa harus meninggalkan rumah dan anak-anak mereka beratus-ratus kilometer atau bahkan bertahun-tahun untuk sekedar mengejar kebutuhan perut.
Keterpaksaan ini bukannya diakhiri, tapi malah disokong dengan berbagai regulasi yang ada. Nama pahlawan devisa disematkan pada para TKI dan TKW yang mengadu nasib di rantau orang. Mereka dianggap pahlawan penolong perekonomian bangsa karena mereka bisa menghasilkan uang sendiri dan imbasnya akan mendongkrak pendapatan perkapita negara. Program pemberdayaan ekonomi perempuan diluncurkan untuk mendorong perempuan bekerja. Ini berarti kebijakan pemerintah justru menfasilitasi untuk bekerja dan menghasilkan uang sendiri.
Di sisi lain, ditengah masyarakat dikembangkan opini tentang sosok perempuan yang sukses. Yakni mereka adalah perempuan yang memiliki usaha dan tidak bergantung pada suami, bukan seorang ibu yang mampu mencetak anak-anaknya menjadi generasi yang berakhlaq mulia. Artinya opini yang tumbuh ditengah masyarakat telah menghilangkan fitrah seorang ibu yang seharusnya berada dirumah untuk mendidik anak-anaknya.
Tak hanya itu adanya advokasi dari berbagai gerakan perempuan melalui berbagai regulasi perlindungan pekerja perempuan seperti UU tentang pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja dan keharusan perusahaan membuat tempat penitipan anak (daycare) membuat para ibu semakin berani keluar rumah, semakin nyaman dan merasa terlindungi. Ini menyebabkan fenomena kaum migran menjadi kian marak.
Walhasil jika ini yang terjadi, regulasi pemerintah tak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi para ibu. Karena memang solusinya tak pernah menyentuh akar persoalan. Yang ada justru membuat persoalan baru semakin banyak bermunculan dan semakin pelik untuk diselesaikan karena saling berkelindan satu dengan lainnya.
Ibu Menjadi Mulia Hanya Dengan Islam
Perbedaan pandangan antara Islam dan Liberalisme (Kapitalisme) dalam hal ini memang sangat nyata. Diawali dengan perbedaan yang signifikan terhadap peran dan fungsi perempuan di tengah masyarakat hingga persoalan-persoalan yang menyangkut keluarga dan keberlangsungan generasi. Islam memberikan banyak aturan pada perempuan bukan karena ingin menindas perempuan. Sebab aturan yang sangat banyak dan rinci itu dibuat sesuai dengan fitrah manusia sebagai perempuan.
Islam memandang perempuan dengan tepat dan mendudukannya pada posisi yang mulia. Yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ini adalah posisi yang sangat strategis. Sebab masa depan generasi dan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh posisi ini. Maka proses pendidikan pada anak yang dilakukan oleh kaum ibu menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa.
Adapun kewajiban mencari nafkah dibebankan pada kaum laki-laki. Bukan untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan. Tapi peran ini diberikan sesuai dengan kemampuan fisik dan tanggung jawab yang diberikan Allah swt pada laki-laki. Dan ketika masing-masing pihak saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat dengan tetap fokus pada peran yang sudah ditetapkan, maka ketentraman dalam sebuah masyarakat akan terwujud.
Di lain pihak, Islam mengatur bagaimana Negara memberikan jaminan terhadap terpenuhinya semua kebutuhan pokok rakyatnya. Islam menyerahkan tugas ini bukan pada pundak individu atau sebagian orang, apalagi seorang ibu. Islam memberikan solusi untuk mengentaskan kemiskinan melalui distribusi kekayaan yang dibebankan pada negara untuk mengaturnya. Dengan demikian, ibu-ibu tak perlu bersusah payah menghidupi dirinya dengan menghabiskan waktu sekian banyak di luar rumah. Maka nyatalah Islam memuliakan para ibu. Karena itu memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan menjadi keharusan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. [duniaterkini.com]
Sejak Indonesia diterpa krisis ekonomi tahun 1997, aroma kebebasan atau liberalisasi di bidang ekonomi semakin tajam. Karena kesulitan ekonomi, Indonesia bergantung pada pinjaman pihak asing terutama dari lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF). Sebagai pihak pemberi utang, IMF berkuasa bagai raja. Mereka bisa memaksa pemerintah Indonesia menandatangai kesepakatan - yang disebut Letter of Intens - sekalipun kesepakatan itu merugikan rakyat.
Pasca penandatanganan Letter of Intens (LoI), pemerintah dipaksa untuk menjalankan resep-resep ala IMF, diantaranya mengharuskan negara untuk memasukkan produk impor secara bebas dan kebijakan keuangan dalam negeri sesuai arahan IMF. Pemerintah menata ulang peraturan agar sesuai dengan keinginan asing, yang diwakili IMF. Yang terjadi kemudian, intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimalisir untuk menghindari distorsi pasar. Artinya pemerintah tidak boleh terlalu ikut campur menentukan harga barang, sehingga harga barang bebas naik-turun sesuai jumlah permintaan dan ketersediaan barang di pasar.
Resep berikutnya adalah privatisasi seluas-luasnya dalam bidang ekonomi termasuk bidang-bidang yang selama ini dikuasai oleh negara. Perusahaan swasta (privat) termasuk milik asing harus diberi kesempatan untuk melakukan bisnis pada sektor layanan umum (publik) - seperti air, kesehatan, jalan, transportasi dan sebagainya- yang mengusai hajat hidup orang banyak yang semestinya dikelola pemerintah untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan bangsa.
Liberalisasi pun menggelinding pada seluruh kegiatan ekonomi. Semua proteksi diupayakan untuk dihilangkan. Pemerintah disetir harus menghilangkan semua kemudahan yang diterima masyarakat agar mereka bisa bersaing dengan pihak manapun, termasuk pihak asing. Sehingga subsidi bagi petani, seperti subsidi pengadaan pupuk dan benih harus dihilangkan, sama seperti mengurangi subsidi BBM dan listrik pada masyarakat umum. Tak hanya itu, arus masuk investasi asing dibuka dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan lebih longgar.
Ketika semua kebijakan itu dijalankan, akibat yang langsung dirasakan adalah meningkatnya kemiskinan. Angka kemiskinan naik menjadi 49,50 Juta atau sekitar 24,23 % dari jumlah penduduk Indonesia, dari hanya 34,01 Juta (17,47 %) pada tahun 1996.
Dari sini bisa dilihat bahwa program liberalisasi ekonomi sejauh ini telah membuat Indonesia kewalahan, bahkan boleh dibilang tidak sanggup menyelesaikan persoalan ekonominya. Padahal dibelakang program ini telah menanti program lain yang tak kalah kejamnya dalam mematikan perekonomian bangsa ini. Serangkaian agenda ekonomi yang terus digulirkan memaksa Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya untuk membuka pasar bagi negara maju. Pasar bebas dalam berbagai bentuknya terus dibesarkan opininyadan masyarakat dipaksa untuk menerima semua akibat buruknya. Komunitas Ekonomi ASEAN tahun 2015 adalah salah satu contohnya. Hasil KTT APEC bulan September lalu juga merekomendasikan hal senada. Begitu pula agenda organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization) yang melangsungan Konferensi Tingkat Menteri di Bali pada tanggal 3 – 8 Desember 2013. Semuanya menekankan pada komitmen menuju pasar bebas. Padahal jelas telah terjadi bagaimana kerugian yang akan diterima Indonesia manakala pasar bebas ini benar-benar berjalan.
Derita Ibu Akibat Liberalisasi Ekonomi
Kemiskinan akan mendorong wanita mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehingga masuklah wanita-wanita ini ke bursa kerja. Kentalnya liberalisme tampak pada kebolehan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan perutnya asal tidak melanggar kebebasan orang lain. Maraklah prostitusi, lelang keperawanan, jualan organ tubuh, dan sebagainya.
Kemiskinan telah menggerakkan perempuan, termasuk para ibu bekerja untuk mencari nafkah demi kebutuhan perutnya. Dari total populasi 112 juta jumlah pekerja di Indonesia, ada 43 juta pekerja perempuan yang membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Itu artinya, jumlah pekerja perempuan hampir sama besarnya dengan pekerja laki-laki.
Sementara itu berbagai kebijakan seperti privatisasi, penghapusan subsidi dan yang lainnya telah menambah beban jam kerja para perempuan, yang mayoritas adalah ibu-ibu. Tak sedikit perempuan pekerja yang harus mematuhi jam kerja 20 jam sehari. Selain beban jam kerja, masih banyak problem yang melingkupi ibu pekerja perempuan ketika berhadapan dengan birokrasi perusahaan tempatnya bekerja, seperti pelecehan seksual di tempat kerja, sulitnya mendapatkan cuti haid dan melahirkan, upah yang rendah dan sebagainya.
Buruh migran juga mendapati hal serupa. Para buruh perempuan berada di bawah ancaman diputus kontrak bila mereka mengeluh soal perlakuan yang dialami. Disamping itu problem yang dihadapi pada kenyataannya tidak berhenti hanya di tempat kerja, tapi juga di rumah. Termasuk problem kesehatan yang dihadapi ibu-ibu buruh. Tingkat perceraian yang cukup tinggi ternyata mewarnai kehidupan mereka. Tak hanya itu, tak sedikit ibu-ibu yang tidak mendapatkan hak untuk memberikan ASI eksklusif terhadap anaknya. Buruh perempuan juga rentan terserang penyakit termasuk HIV/AIDS.
Regulasi Pemerintah Menyengsarakan Ibu
Pemerintah bukannya tak menangkap persoalan ini. Sebab ini adalah persoalan yang sangat mudah diprediksi ketika pemerintah mengadopsi sistem ekonomi liberal. Bahkan peringatan dari berbagai elemen masyarakat dan LSM yang ada sudah sangat nyaring terdengar agar pemerintah menolak aruskebebasan gaya baru yang disebut neoliberalisasi di bidang ekonomi ini. Namun, bak pepatah: “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu” pemerintah tak bergeming, seolah “nasi telah menjadi bubur” pemerintah tak mampu lepas dari cengkeraman liberalisme ini. Sebaliknya justru upaya yang dilakukan pemerintah semakin memperkokoh keberadaan liberalisme.
Saat menyadari bahwa penyebab utama persoalan yang melingkupi perempuan adalah kemiskinan, maka seharusnya pemerintah mengambil langkah untuk menyelesaikan kemiskinan. Tapi, fakta hari ini tidaklah demikian. Pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Akibatnya para ibu terpaksa keluar rumah untuk membantu suami mencari nafkah. Ada pula ibu yang terpaksa harus mencari nafkah sendiri karena suami atau keluarganya tidak memiliki tanggung jawab bahkan melepaskan tanggung jawab untuk menafkahinya. Mereka terpaksa harus meninggalkan rumah dan anak-anak mereka beratus-ratus kilometer atau bahkan bertahun-tahun untuk sekedar mengejar kebutuhan perut.
Keterpaksaan ini bukannya diakhiri, tapi malah disokong dengan berbagai regulasi yang ada. Nama pahlawan devisa disematkan pada para TKI dan TKW yang mengadu nasib di rantau orang. Mereka dianggap pahlawan penolong perekonomian bangsa karena mereka bisa menghasilkan uang sendiri dan imbasnya akan mendongkrak pendapatan perkapita negara. Program pemberdayaan ekonomi perempuan diluncurkan untuk mendorong perempuan bekerja. Ini berarti kebijakan pemerintah justru menfasilitasi untuk bekerja dan menghasilkan uang sendiri.
Di sisi lain, ditengah masyarakat dikembangkan opini tentang sosok perempuan yang sukses. Yakni mereka adalah perempuan yang memiliki usaha dan tidak bergantung pada suami, bukan seorang ibu yang mampu mencetak anak-anaknya menjadi generasi yang berakhlaq mulia. Artinya opini yang tumbuh ditengah masyarakat telah menghilangkan fitrah seorang ibu yang seharusnya berada dirumah untuk mendidik anak-anaknya.
Tak hanya itu adanya advokasi dari berbagai gerakan perempuan melalui berbagai regulasi perlindungan pekerja perempuan seperti UU tentang pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja dan keharusan perusahaan membuat tempat penitipan anak (daycare) membuat para ibu semakin berani keluar rumah, semakin nyaman dan merasa terlindungi. Ini menyebabkan fenomena kaum migran menjadi kian marak.
Walhasil jika ini yang terjadi, regulasi pemerintah tak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi para ibu. Karena memang solusinya tak pernah menyentuh akar persoalan. Yang ada justru membuat persoalan baru semakin banyak bermunculan dan semakin pelik untuk diselesaikan karena saling berkelindan satu dengan lainnya.
Ibu Menjadi Mulia Hanya Dengan Islam
Perbedaan pandangan antara Islam dan Liberalisme (Kapitalisme) dalam hal ini memang sangat nyata. Diawali dengan perbedaan yang signifikan terhadap peran dan fungsi perempuan di tengah masyarakat hingga persoalan-persoalan yang menyangkut keluarga dan keberlangsungan generasi. Islam memberikan banyak aturan pada perempuan bukan karena ingin menindas perempuan. Sebab aturan yang sangat banyak dan rinci itu dibuat sesuai dengan fitrah manusia sebagai perempuan.
Islam memandang perempuan dengan tepat dan mendudukannya pada posisi yang mulia. Yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ini adalah posisi yang sangat strategis. Sebab masa depan generasi dan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh posisi ini. Maka proses pendidikan pada anak yang dilakukan oleh kaum ibu menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa.
Adapun kewajiban mencari nafkah dibebankan pada kaum laki-laki. Bukan untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan. Tapi peran ini diberikan sesuai dengan kemampuan fisik dan tanggung jawab yang diberikan Allah swt pada laki-laki. Dan ketika masing-masing pihak saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat dengan tetap fokus pada peran yang sudah ditetapkan, maka ketentraman dalam sebuah masyarakat akan terwujud.
Di lain pihak, Islam mengatur bagaimana Negara memberikan jaminan terhadap terpenuhinya semua kebutuhan pokok rakyatnya. Islam menyerahkan tugas ini bukan pada pundak individu atau sebagian orang, apalagi seorang ibu. Islam memberikan solusi untuk mengentaskan kemiskinan melalui distribusi kekayaan yang dibebankan pada negara untuk mengaturnya. Dengan demikian, ibu-ibu tak perlu bersusah payah menghidupi dirinya dengan menghabiskan waktu sekian banyak di luar rumah. Maka nyatalah Islam memuliakan para ibu. Karena itu memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan menjadi keharusan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. [duniaterkini.com]
Penulis: Siti Nuryati, S.TP, M.Si
Tidak ada komentar:
Posting Komentar