Film Soekarno, Hanung Semakin Terlihat Ingin Menyudutkan Islam

Semakin hari, karya sutradara Hanung Bramantyo semakin menunjukkan upaya untuk memojokkan umat Islam di Indonesia.

Dalam film Sang Pencerah misalnya, Hanung begitu berambisi mereduksi perjuangan gerakan Islam modernis menjadi sekedar persoalan pemahaman tekstual dan kontekstual belaka. Sementara dalam film Perempuan Berkalung Surban, Hanung begitu bersemangat menyudutkan sistem pendidikan Islam yang sudah lama mengakar dan memberikan kontribusi pada pembangunan karakter bangsa.

Kini, kata aktivis muda Muhammadiyah, Supriadi Jae, upaya Hanung menyudutkan umat Islam Indonesia terlihat semakin jelas dalam film Soekarno.

Dalam film itu ada salah satu adegan yang mempertontonkan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang ini, Hanung menggambarkan ada sosok yang bersorban kemudian berteriak-teriak mau menegakkan syariat Islam Indonesia dengan alasan pemeluk Islam Indonesia merupakan mayoritas. Pasca orang ini berpidato, suasana menjadi rusuh, sebelum akhirnya ditenangkan oleh Soekarno.

Menurut Suja, biasa Supriadi Jae disapa, adagen ini benar-benar membalikkan sejarah. Secara faktual berdasarkan data-data sejarah, sidang yang digelar pada 29 Mei-1 Juni 1945 ini berjalan tertib, dengan gagasan ideologis kebangsaan yang menonjol. Sidang ini pada awalnya dihadiri oleh 60 anggota, dengan tiga pimpinan sidang, yaitu Radjiman Wediodinigrat sebagai ketua, serta Itibangase Yosio dan RP Soeroso sebagai wakil ketua sidang. Pada masa berikutnya, sidang dihadiri oleh 69 anggota, karena ada enam anggota tambahan yang terdiri dari orang-orang Jepang.

Anggota BPUPKI itu, lanjut Suja, kemudian dibagi menjadi lima golongan, yaitu golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat, wakil kerajaan, pangreh praja, dan golongan peranakan. Untuk golongan peranakan, hadir empat orang peranakan Tionghoa, satu orang peranakan Arab dan satu orang peranakan Belanda.

Dalam hal merespons permintaan ketua sidang mengenai dasar negara, ada beberapa tokoh yang mengemukakan tentang pentingnya Ketuhanan sebagai dasar kenegaraan. Mereka adalah Muhammad Yamin, Wiranatakoesuma, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, KS Agoes Salim, Abdoelrachim Pratalykarama, Abdul Kadir, KS Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo dan Muhammad Hatta.

"Lalu siapa orang yang bersorban apa adanya di film Hanung yang berteriak-teriak mau menegakkan syariat Islam itu? Benar-benar film murahan, karena sejatinya dasar-dasar negara itu didialogkan secara elegan dan penuh kesantunan, dan masih dalam bingkai kebangsaan," kata Suja (Rabu, 19/12).

Suja pun bertanya, apa motif dan alasan Hanung menampilkan perwakilan Islam dalam sidang BPUPKI itu secara murahan.

"Apakah Hanung tidak paham sejarah atau secara sadar dan sengaja memutarbalikkan sejarah? Bila dasar pertama yang menjadi alasan, maka Hanung tak pantas membuat film sejarah. Bila alasan kedua yang menjadi alasan, maka Hanung benar-benar berbuat kejahatan kenegaraan karena mau memanipulasi sejarah," sambung Suja dengan tegas.

Bahkan, Suja menambahkan, penggamaran sosok Fatwamati dalam film itu benar-benar nista. Fatmawati, kader Muhammadiyah yang juga puteri dari tokoh Muhammadiyah Bengkulu, Hassan Din, digambarkan oleh Hanung sebagai sosok yang tidak jauh beda dengan figur Abege dalam sinetron-sinetron kacangan yang selama ini beredar.

"Memang tak aneh, produser film Soekarno ini juga adalah Ram Punjabi, yang biasa membuat film kacangan," demikian Suja. [rmol/duniaterkini.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2015. Muslim Magazine.
Design by Herdiansyah Hamzah. Published by Themes Paper. Distributed By Kaizen Template Powered by Blogger.
Creative Commons License