Solusi Aksi Kriminalitas Anak

“Kecil-kecil otak kriminal” istilah ini sering kita dengar beberapa tahun belakangan. Sosok anak yang selama ini digambarkan innocentkini tak ada  bedanya dengan orang dewasa, dapat melakukan tindak kriminalitas. Masih segar dalam ingatan kita, anak seorang artis ternama, yang berusia belasan tahun melanggar aturan berlalulintas sehingga menewaskan beberapa orang.

Komnas Perlindungan Anak (KPA) mencatat sekitar 2008 kasus kriminalitas pada kuartal pertama tahun 2012 yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia dilakukan oleh anak-anak. Kasus tersebut meliputi pencurian, tawuran, hingga pelecehan seksual. Bahkan yang paling menyedihkan adalah adanya kecenderungan peningkatan dalam kasus tindak pidana asusila, yaitu sudah terjadi sekitar 37 kasus antara bulan Januari-Mei 2013 (data Satreskrim).

Ternyata masalah kriminalitas anak juga merebak di kota kecil seperti Banyuwangi.  Selama tahun 2012 telah terjadi beberapa tindak pidana yang dilakukan anak baru gede (ABG). Catatan Polres Banyuwangi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik pencurian maupun pembunuhan Yaitu sbb : Terungkapnya sindikat curanmor yang mana ketua dan anggota sindikat masih anak-anak ( usia sekolah,dan belum menikah dan berusia di bawah 18 tahun). Salah satu kasus pencurian toko mas juga dilakukan oleh 6 orang anak anak di bawah umur, bahkan adapula kasus pembunuhan dengan korban  berusia 16 tahun yang dilakukan oleh dua tersangka yang seumuran dengan korban , serta belum beberapa kejahatan jalanan lainnya,misalnya pemerasan , pemalakan, pencurian helm maupun pelecehan seksual serta penyalahgunaan miras maupun narkoba.

Belum lagi jika kita berbicara masalah tawuran yang seakan-akan sudah menjadi tradisi di kalangan pelajar. Meski sudah menelan ratusan korban jiwa, tak juga ada tindakan tegas dari aparat yang berwenang. Anak-anak pelaku kriminalitas inipun seolah tak tersentuh hukum.

Sebab-Musabab
               
Maraknya aksi kriminalitas anak tidak lepas dari pengaruh globalisasi dan komerialisasi. Iming-iming kemewahan yang dipertontonkan di televisi dan sarana hiburan lain membuat anak-anak sebagai imitator ulung tergiur untuk mendapatkan gadget canggih, pakaian a la artis, makan di tempat bergengsi, kendaraan penunjang pergaulan. Sementara kondisi ekonomi orangtua tidak  menunjang keinginan tersebut sehingga membuat mereka nekat bertindak kriminal.

Tercerabutnya nilai-nilai agama dari kehidupan ditambah dengan tren kebebasan berperilaku membuat anak tak punya pegangan yang jelas untuk bertingkahlaku. Menganggap tontonan adalah tuntunan, dan menjadikan para selebritis sebagai panutan. Tak heran jika calon generasi penerus bangsa ini tubuh menjadi ‘monster-monster’ kecil yang mudah terjerumus dalam tindak kejahatan.

Kondisi  ini diperparah dengan dilema pemberian hukuman pada anak pelaku kriminalitas, dimana hukum internasional menetapkan larangan memberi hukuman pada anak-anak. Sementara standar internasional, mendefinisikan bahwa anak adalah manusia yang berusia di bawah 18 tahun. Padahal Definisi ini bertentangan dengan fakta di lapangan. Terbukti saat ini kelas 6 SD-pun sudah menjelma menjadi sosok yang tak berbeda dengan orang dewasa, karena memang di usia ini terjadi proses pubertas sebagai tanda-tanda peralihan dari masa anak-anak menjadi dewasa. Sangat salah jika memposisikan mereka sebagai anak-anak, sehingga setiap kesalahannya ditolerir, bahkan dibela dengan memposisikan mereka sebagai korban. Bersikap lunak terhadap anak perilaku kriminal hanya akan membuat mereka semakin merjalalela dengan aksi yang lebih sadis.

Tanggungjawab Siapa?

Selama ini aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam menentukan pihak yang harus mempertanggungjawabkan aksi kriminalitas anak. Jika si pelaku yang dibidik, maka akan terbentur dengan hukum internasional. Namun tak efektif pula menjatuhkan sanksi pada orangtua ataupun pihak lain, karena tidak memberikan efek jera pada pelaku.

Jika hukum saat ini tidak bisa menjangkau anak pelaku kriminalitas karena terbentur hukum internasional tentang anak, maka sudah sepatutnya kita mengkajiulang standar hukum yang kita gunakan. Tentu saja haruslah menggunakan standar yang sesuai dengan fitrah manusia, menentramkan hati dan memuaskan akal. Dan Syari’at Islam memiliki ketiga kriteria itu.

Islam memberikan batas masa kanak-kanak dengan sangat jelas, dengan batasan baligh. Jumhur ulama berpendapat, tanda-tanda baligh yang terdapat pada masing-masing laki-laki dan perempuan : al-ihtilamatau bermimpi berhubungan suami-isteri.  Disamping itu, ada juga tanda khusus bagi anak-anak wanita, yaitu haid atau menstruasi dan kehamilan.  Dalil bahwa tanda-tanda baligh adalah dengan bermimpi adalah firman Allah:

وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin“  (TQS.An-Nur[24]:59).

Umumnya anak laki-laki mengalami baligh pada usia 12-15 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia 9-12 tahun.

Menurut Prof.Dr.Hj.Huzaemah T.Yanggo dalam bukunya Fiqh Anak, secara etimologis, al-bulugh ialahal-wushul al-idrak (sampai dan mengenal/memahami).  Sedangkan menurut makna  terminologis, al bulugh adalah habisnya masa kanak-kanak dan beralih menjadi dewasa, dimana dia telah memiliki kelayakan mendapat tugas ( ahliyat al-wujub), dan kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara sempurna (ahliyat al-‘ada). Sehingga Islam menggandengkan istilah tersebut menjadi istilah aqil baligh (berakal/matang dalam pemikiran).

Jika anak yang sudah baligh mentaati aturan, maka akan memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar maka akan berdosa.  Semua yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan sendiri.  Tidak bisa dilimpahkan atau digantikan oleh orang lain. Termasuk mempertanggungjawabkan tindak kriminalitas yang dilakukan. Sedangkan untuk anak yang belum baligh, maka orangtuanya yang akan medapat sanksi, sementara sang anak harus dibina dengan baik.

Mempersiapkan Anak Taat Aturan
           
Baligh itu pasti, namun aqil itu bukanlah sesuatu yang instan. Karena fakta membuktikan banyak anak yang sejatinya sudah baligh masih bersikap kekanak-kanakan, belum mampu membedakan mana perbuatan terpuji dan mana yang tercela. Islam menetapkan bahwa mempersiapkan anak agar mampu mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya di masa baligh adalah tanggungjawab bersama seluruh lapisan masyarakat, baik itu orangtua, masyarakat dan pemerintah.
          
Orangtua adalah pendidik pertama bagi anak, tempat penanaman ketaatan pada Alloh. Dalam QS. At-Tahrim ayat 6, jelas-jelas Alloh memerintahkan orangtua untuk menjaga keluarganya dari siksa api neraka.

Namun ketika sang anak mulai bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat, maka pengaruh luar mulai masuk dalam dirinya. Sehingga mau tidak mau, masyarakatpun punya kewajiban untuk menjaga nilai luhur yang telah tertanam dalam keluarga dengan budaya ‘ammar ma’ruf nahy munkar. Setiap ada kemaksiatan yang sedang bahkan hendak dilakukan, masyarakat siap mengingatkan.
          
Ujung tombak dari tanggungjawab ini ada di pundak pemerintah. Karena pemerintah pemegang kebijakan tertinggi bagi rakyat. Pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan berkualitas yang mampu mencetak generasi muda yang bertakwa, yaitu generasi yang tidak akan melakukan perbuatan sia-sia apalagi aksi kriminalitas. Begitupun pemerintah bertanggungjawab menjamin kehidupan yang layak bagi rakyatnya, sehingga tak ada lagi alasan anak menanggung beban ekonomi keluarga. Tak lupa juga, negara wajib menjaga akidah dan akhlak rakyatnya, termasuk anak-anak.
Wallahu a’lam bi showwab
           
[Mayadewi/Tabloid SIAR/duniaterkini.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2015. Muslim Magazine.
Design by Herdiansyah Hamzah. Published by Themes Paper. Distributed By Kaizen Template Powered by Blogger.
Creative Commons License