Menyikapi kembali menguaknya dugaan penyadapan oleh pemerintah asing di Indonesia, pemerintah disarankan segera mengevaluasi peran dan kinerja lembaga intelijen. Terutama, di bidang operasi kontra intelijen yang dilakukan badan-badan intelijen tersebut.
“Evaluasi aparat intelijen sangat penting. Dalam penyadapan yang dilakukan asing ini. evaluasi kontra intelijen BIN (Badan Intelejen Negara) harus dilakukan segera," kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Rizal Darmaputra di Jakarta, akhir pekan lalu.
Jika kontra intelijen berfungsi dengan baik, menurutnya, bisa dilakukan strategi masif untuk menangkal semua bentuk rencana penyadapan yang dilakukan negara lain.
Lembaga intelijen dalam negeri, seperti BIN, Badan Intelijen Strategis (BAIS), dan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), lanjut Rizal, memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas upaya penyadapan yang dilakukan pihak asing. “Pada umumnya, teknologi intel kan kita beli dari negara-negara barat," ujarnya.
Karenanya. Rizal menyarankan, pemerintah dan Komisi I DPR harus segera meminta penjelasan kepada semua lembaga intelijen negara. Termasuk, meminta penjelasan pejabat intel mengenai kerja sama BIN dengan Australian Security Intelligence Organisation (ASIO).
Ia juga berpendapat, pemerintah perlu melihat kembali keberadaan perwira penghubung intelijen di setiap kedutaan besar asing di Indonesia. “Kalau mau keras, Indonesia bisa mempersoalkan keberadaan perwira penghubung tersebut dan meminta mereka pulang," kata Rizal.
Pengamat Hubungan Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ganewati Wulandari mengatakan, dugaan penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat dan Australia membuktikan tidak ada teman abadi dalam hubungan internasional.
Isu penyadapan sekarang ini menjadi isu internasional, menurut Ganewati, karena implikasi penyadapan bersifat masif. “Ini mengakibatkan bahwa dalam konteks hubungan internasional menjadi goncangan. Karena, ada persoalan trust dan confident building yang rusak,” ujarnya.
Meski menimbulkan goncangan internasional, Ganewati menilai, Indonesia harusnya tidak terlalu reaksioner dalam merespons isu penyadapan tersebut. Justru, penyadapan itu dijadikan titik balik bagi Indonesia untuk membenahi pengamanan data dan operasi intelijen dalam dan luar negeri.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR menyatakan akan mengusulkan memanggil pemerintah untuk mempertanyakan kinerja intelijen Indonesia terkait isu penyadapan. “Kami akan mengusulkan di Komisi I DPR untuk pemanggilan Lembaga Sandi Negara, Badan Intelijen Negara, dan Kementerian Luar Negeri terkait evaluasi kinerja intelijen pasca-penyadapan," kata Ketua Fraksi PKB di DPR Marwan Jafar.
PKB, menurut dia, akan mendorong pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang penyadapan. Perppu itu, dia mengatakan, dijadikan sebagai payung hukum menangkal penyadapan dan spionase terselubung.
Indonesia disebut menjadi salah satu dari 90 pos tempat kedutaan AS dan Australia memiliki fasilitas penyadapan. Informasi itu itu didasarkan kesaksian whistleblower Edward Snowden yang kemudian dikutip Sydney Herald Tribune dan beberapa media lainnya.
Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro pada Jumat (8/11) menerima kunjungan Menteri Pertahanan Australia David Johnston bersama delegasinya di Kantor Kemhan, Jakarta. Tapi, terkait aksi penyadapan, Purnomo mengatakan bahwa isu itu sudah berada di ranah hubungan diplomatik antara kedua negara. [rol/duniaterkini.com]
“Evaluasi aparat intelijen sangat penting. Dalam penyadapan yang dilakukan asing ini. evaluasi kontra intelijen BIN (Badan Intelejen Negara) harus dilakukan segera," kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Rizal Darmaputra di Jakarta, akhir pekan lalu.
Jika kontra intelijen berfungsi dengan baik, menurutnya, bisa dilakukan strategi masif untuk menangkal semua bentuk rencana penyadapan yang dilakukan negara lain.
Lembaga intelijen dalam negeri, seperti BIN, Badan Intelijen Strategis (BAIS), dan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), lanjut Rizal, memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas upaya penyadapan yang dilakukan pihak asing. “Pada umumnya, teknologi intel kan kita beli dari negara-negara barat," ujarnya.
Karenanya. Rizal menyarankan, pemerintah dan Komisi I DPR harus segera meminta penjelasan kepada semua lembaga intelijen negara. Termasuk, meminta penjelasan pejabat intel mengenai kerja sama BIN dengan Australian Security Intelligence Organisation (ASIO).
Ia juga berpendapat, pemerintah perlu melihat kembali keberadaan perwira penghubung intelijen di setiap kedutaan besar asing di Indonesia. “Kalau mau keras, Indonesia bisa mempersoalkan keberadaan perwira penghubung tersebut dan meminta mereka pulang," kata Rizal.
Pengamat Hubungan Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ganewati Wulandari mengatakan, dugaan penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat dan Australia membuktikan tidak ada teman abadi dalam hubungan internasional.
Isu penyadapan sekarang ini menjadi isu internasional, menurut Ganewati, karena implikasi penyadapan bersifat masif. “Ini mengakibatkan bahwa dalam konteks hubungan internasional menjadi goncangan. Karena, ada persoalan trust dan confident building yang rusak,” ujarnya.
Meski menimbulkan goncangan internasional, Ganewati menilai, Indonesia harusnya tidak terlalu reaksioner dalam merespons isu penyadapan tersebut. Justru, penyadapan itu dijadikan titik balik bagi Indonesia untuk membenahi pengamanan data dan operasi intelijen dalam dan luar negeri.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR menyatakan akan mengusulkan memanggil pemerintah untuk mempertanyakan kinerja intelijen Indonesia terkait isu penyadapan. “Kami akan mengusulkan di Komisi I DPR untuk pemanggilan Lembaga Sandi Negara, Badan Intelijen Negara, dan Kementerian Luar Negeri terkait evaluasi kinerja intelijen pasca-penyadapan," kata Ketua Fraksi PKB di DPR Marwan Jafar.
PKB, menurut dia, akan mendorong pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang penyadapan. Perppu itu, dia mengatakan, dijadikan sebagai payung hukum menangkal penyadapan dan spionase terselubung.
Indonesia disebut menjadi salah satu dari 90 pos tempat kedutaan AS dan Australia memiliki fasilitas penyadapan. Informasi itu itu didasarkan kesaksian whistleblower Edward Snowden yang kemudian dikutip Sydney Herald Tribune dan beberapa media lainnya.
Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro pada Jumat (8/11) menerima kunjungan Menteri Pertahanan Australia David Johnston bersama delegasinya di Kantor Kemhan, Jakarta. Tapi, terkait aksi penyadapan, Purnomo mengatakan bahwa isu itu sudah berada di ranah hubungan diplomatik antara kedua negara. [rol/duniaterkini.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar