Tak Sepantasnya Lembek di depan Australia

Sejumlah media asing pada Senin (18/11/2013) melaporkan bahwa badan mata-mata Australia telah berusaha menyadap telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ani Yudhoyono istrinya, dan sejumlah menteri dalam kabinet SBY. Laporan itu didasarkan pada sejumlah dokumen rahasia yang dibocorkan mantan agen National Security Agency (NSA) AS, Edward Snowden. Dokumen yang ada di tangan Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris The Guardian itu, diantaranya menyebut nama Presiden SBY dan sembilan orang dekatnya sebagai target penyadapan oleh Australia.

Dokumen yang dikategorikan “top secret” ini dibuat oleh the Defence Signals Directorate (DSD), yang sekarang dinamai Australian Signals Directorate. Informasi rahasia terbaru ini menunjukkan sejauh mana penyadapan Australia dilakukan terhadap Pemerintah Indonesia.

Baru Bersikap

Setelah muncul laporan itu, Pemerintah (Presiden) SBY pun bersikap. Presiden SBY sendiri menyatakan melalui tujuh tweet di akun Twitter-nya yang diunggah pada Selasa (19/11/2013) dini hari: “Sejak ada informasi penyadapan AS & Australia terhadap banyak negara, termasuk Indonesia, kita sudah protes keras.” “Menlu & jajaran pemerintah juga lakukan langkah diplomasi yang efektif, sambil meminta penjelasan & klarifikasi dari AS & Australia.” “Hari ini, saya instruksikan Menlu Marty Natalegawa utk memanggil ke Jakarta Dubes RI utk Australia. Ini langkah diplomasi yg tegas.” “Indonesia juga minta Australia berikan jawaban yg resmi & bisa dipahami masyarakat luas atas penyadapan terhadap Indonesia.” “Kita juga akan meninjau kembali sejumlah agenda kerja sama bilateral akibat perlakuan Australia yang menyakitkan itu.” “Tindakan AS & Australia sangat mencederai kemitraan strategis dgn Indonesia, sesama negara demokrasi.” “Saya juga menyayangkan pernyataan PM Australia yang menganggap remeh penyadapan terhadap Indonesia, tanpa rasa bersalah.”

Menlu Marty Natalegawa memanggil pulang Dubes RI dari Canberra, Australia. Pemanggilan Dubes RI tersebut sebagai tindakan tegas Pemerintah Indonesia untuk memperingatkan Australia. Menlu Marty menyatakan (Senin, 18/11), “Indonesia memanggil pulang Dubes di Canberra untuk konsultasi. Ini tidak bisa dianggap ringan. Pemanggilan itu menunjukkan sikap tegas dan terukur Pemerintah Indonesia.”

Esok paginya Selasa (19/11/2013), Dubes RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema meninggalkan Canberra. Dalam pesan kepada staf kedutaan, Nadjib memastikan semua kerja sama Indonesia dengan Autralia, kecuali di bidang politik dan pertahanan, tetap berjalan normal (kompas.com, 19/11).

Sikap Yang Telat

Seharusnya sikap tegas ditunjukkan sejak awal terungkapnya kasus penyadapan itu. Sayangnya, sikap itu hanya ditunjukkan atas isu penyadapan oleh Australia. Terhadap isu penyadapan oleh AS nyaris tidak ada.

Perlu diketahui, Sydney Morning Herald -SMH- (www.smh.com.au), menyebutkan (31/10/2013), kantor Kedubes Australia di Jakarta turut menjadi lokasi penyadapan sinyal elektronik. Dokumen rahasia NSA yang dimuat Der Spiegel menyebut Defence Signals Directorate (DSD) mengoperasikan fasilitas program STATEROOM. Yaitu nama sandi program penyadapan sinyal radio, telekomunikasi, dan lalu lintas internet oleh AS dan para mitranya yang tergabung dalam jaringan ”FVEY” –Five Eye/Lima Mata-, yakni Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Disebutkan, DSD mengoperasikan program itu di fasilitas-fasilitas diplomatik Australia termasuk kantor Kedubes Australia yang ada di Jl. HR. Rasuna Said, Kuningan Jakarta. Berbagai pembicaraan para pejabat Indonesia termasuk Presiden SBY termasuk yang selama ini disadap.

SMH pada (31/10/13) juga mengutip buku harian seorang diplomat Defence Signals Bureau, diubah menjadi DSD dan sekarang dinamai Australian Signals Directorate, bahwa kabel diplomatik Indonesia dibaca secara rutin oleh intelijen Australia sejak pertengahan 1950-an dan seterusnya. Disebutkan, aksi itu dilakukan bekerjasama dengan intelijen Inggris MI6, Pusat Kantor Komunikasi Pemerintahan dan secara lebih intim dengan National Security Agency (NSA) AS. Jaringan media Fairfax juga mengungkap aksi penyadapan terhadap Presiden SBY saat hadir di KTT G20 di London.

Sikap Egosentris

Disayangkan yang tampak sejak awal justru sikap lembek dan tidak tegas. Sungguh patut dipertanyakan, kenapa Presiden SBY tidak menampakkan kegeraman seperti ketika menanggapi pemberitaan kesaksian sidang soal Bunda Putri.

Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mempertanyakan reaksi Presiden SBY soal penyadapan, yang baru dilakukan setelah telepon Ani Yudhoyono masuk daftar telepon yang disadap oleh intelijen Australia. Sebelumnya, reaksi atas penyadapan oleh Amerika bahkan nyaris tak terdengar. “Bukankah Indonesia milik rakyat Indonesia bukan sekadar milik Pak SBY dan Ibu Ani?” kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/11/2013) dini hari (kompas.com, 19/11).

Padahal isu penyadapan terhadap Presiden SBY, isterinya dan sejumlah menteri kabinetnya itu berkaitan dengan kedaulatan negeri ini dan marwah bangsa. Sungguh ironis seandainya itu mengindikasikan seolah-olah “kedaulatan dan marwah diri sendiri” lebih tinggi dan penting dari kedaulatan dan marwah negeri. Itulah bentuk egosentrisme dan lemahnya (tidak adanya) sikap kenegarawanan. Bisa jadi itulah cerminan dan bukti langkanya negarawan di negeri ini.

Lembek dan Kurang Tepat

Penarikan Dubes RI di Canberra dikatakan oleh Menlu sebagai sikap tegas dan terukur. Sayang dampaknya tidak nyata. Buktinya, PM Australia Abbot menganggap hubungan RI-Australia baik-baik saja. Abbot pada selasa (19/11) menyatakan, “Jelas hari ini mungkin bukan hari terbaik dalam hubungan itu. Namun kami memiliki hubungan yang sangat baik dan kuat dengan Indonesia.” (kompas.com, 19/11). PM Australia menganggap penarikan Dubes RI dari Canberra itu tidak mengurangi kemesraan hubungan RI-Australia. Ia menganggap penarikan Dubes RI itu hanyalah untuk konsumsi domestik Indonesia, untuk “menyelamatkan” muka pemerintah di depan rakyat. Sementara hubungan dengan Australia tidak akan terpengaruh.

Penarikan Dubes ini juga bisa dianggap sikap yang kurang, sebab hal itu bisa juga dianggap justru Dubes RI itulah yang diberi sanksi dan teguran, atas tindakan Australia. Bagaimana tidak, Australia yang berulah, justru pejabat RI yang ditarik sementara pejabat Australia dan diplomatnya tetap dihormati, aman dan enak-enak menjalankan segala kegiatannya –bisa jadi termasuk penyadapan-. Sebab penarikan dubes itu tidak disertai (apalagi didahului) pemulangan dubes dan diplomat Australia. Kedubes Australia juga tidak diapa-apakan, apalagi ditutup. Padahal sesuai pemberitaan SMH dan Der Spiegel, di kedubes Australia itulah diantaranya alat dan sarana penyadapan itu berada.

Penyadapan itu menunjukkan bahwa Australia tetap melakukan “perang” terhadap negeri ini. Sebab penyadapan itu adalah bagian dari bentuk Cyber War. Menurut Ketua MPR Sidarto (kompas, 29/7), penyadapan terhadap kepala negara adalah bentuk cyber war.

Penyadapan itu telah menunjukkan Australia bukan negara sahabat yang dapat dipercaya dalam hubungan internasional. Selama ini Australia telah berkali-kali campur tangan urusan domestik RI dan bersikap lebih superior terhadap Indonesia. Australia dulu menjadi sponsor utama bahkan “pemicu” lepasnya Timor Timur. Sebagian politisinya jelas-jelas mendukung Papua Merdeka. Pada tahun 2006, Australia memberikan suaka kepada 42 orang aktivis kemerdekaan Papua. Australia juga “campur tangan” dalam program kontra terorisme. Beberapa bulan lalu pemerintah Australia bersikap pongah tentang keinginannya menerapkan kebijakan “pulangkan perahu” menyikapi imigran gelap yang hendak masuk ke Australia. Dan sekarang terungkap Australia sejak lama melakukan penyadapan terhadap pemerintah negeri ini. Meski semua itu, Pemerintah Australia yakin tetap dianggap sahabat oleh pemerintah Indonesia, yakin hubungan Australia-RI akan tetap kuat dan erat (mesra).

Apa yang ditunjukkan pemerintah Australia itu jelas bukan perilaku sahabat, tapi lebih pas sebagai perilaku musuh. Mestinya, musuh harus diposisikan sebagai musuh. Bukan sebaliknya, musuh dianggap teman apalagi sahabat. Allah SWT telah mengingatkan:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu. Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (TQS Ali Imran [3]: 118)

Sikap seperti itu adalah bunuh diri politik dan menunjukkan kelemahan di hadapan musuh. Sikap lemah seperti itu bukan sikap yang seharusnya dari seorang mukmin.

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (TQS Ali Imran [3]: 139)

Wahai Kaum Muslimin

Semua itu makin menegaskan bahwa sikap yang konsisten dan tegas hanya akan bisa diwujudkan jika petunjuk dari Allah SWT yakni Islam dengan Syariahnya dijadikan sebagai pedoman. Hanya dengan itu kemuliaan umat ini akan tetap terpelihara, kekayaannya tetap terjaga dan kehormatan mereka terlindungi. Dan itu semua hanya bisa diwujudkan melalui tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [alislam681/duniaterkini.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2015. Muslim Magazine.
Design by Herdiansyah Hamzah. Published by Themes Paper. Distributed By Kaizen Template Powered by Blogger.
Creative Commons License