Imam Masjidil Haram
Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi merupakan salah satu ulama besar Nusantara kelas dunia. Puncak karier ulama asal Ranah Minang (Minangkabau) tersebut adalah sebagai guru besar, imam sekaligus khatib di Masjidil Haram, Mekah Al Mukaramah pada penghujung abad 19 hingga awal abad 20 Masehi.
Di Tanah Suci umat Islam sedunia tersebut, Ahmad Khatib juga diamanahi sebagai mufti Mazhab Syafi’i. Di kiblat seluruh umat Islam tersebut Ahmad Khatib juga menjadi guru bagi ulama-ulama Melayu dan Jawa.
Banyak murid Ahmad Khatib yang diajari fiqih Syafi’i. Kelak di kemudian hari, dari ulama besar ini banyak lahir ulama-ulama besar di Indonesia, di antaranya, Haji Abdul Karim “Haji Rasul” Amrullah (ayah Buya Hamka), Haji Abdullah Ahmad (pendiri Sumatera Thawalib); KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Keturunan Padri
Nama lengkap Ahmad Khatib adalah Al ‘Allamah Asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin ‘Abdul Lathif [bin ‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi [Al Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari Rahimahullah.
Ia dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota Gadang, Kec Ampek Koto, Kab Agam, Prov Sumatera Barat pada Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di tengah keluarga bangsawan Padri (ulama) yang benar-benar menentang penjajahan Belanda.
Abdullah, kakeknya atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khatib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat di belakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syekh Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Alquran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh ayahnya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Mekah untuk menyelesaikan hafalan Alqurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekah, terutama yang mengajar di Masjid Al Haram. Di antaranya adalah Sayyid Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1259-1330 H); Penulis I’anatuth Thalibin Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’I (1266-1310 H) dan Mufti Madzhab Syafi’i Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304).
Salah satu kebiasaan, Ahmad Khatib di Mekah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli.
Karena seringnya Ahmad Khatib mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.
Ketertarikan Al Kurdi terhadap Ahmad Khatib dibuktikan dengan dijadikannya ulama asal Minangkabau tersebut sebagai menantu. Ahmad Khatib sempat ragu menerima lamaran karena tidak adanya biaya yang mencukupi. Ia pun menolak dengan alasan apa adanya, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjadikannya menantu.
Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Ahmad Khatib. Hal itu dilakukan Al Kurdi karena ia melihat kepribadian Ahmad Khatib yang mulia dan keilmuannya yang luar biasa.
Tentang pengambilan Syeikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Al Kurdi: “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa Arab kecuali setelah belajar di Mekah?”
“Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertakwa,” jawab Al Kurdi seketika.
Pada kesempatan lain, Ahmad Khatib bertemu dengan Syarif ‘Anunur Rafiq dengan cara yang unik untuk menjadi Imam Masjid Al Haram. Suatu ketika ia shalat berjamaah yang diimami langsung Syarif 'Aunur Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah. Mengetahui kesalahan bacaan itu, Ahmad Khatib yang saat itu shalat di belakang imam dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Usai shalat, Syarif 'Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi.
Lalu ditunjukkannya Ahmad Khatib yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif 'Aunur Rafiq mengangkatnya sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
Namun sayang, di tempat suci itu, ada juga ulama yang dengki. Adalah Muhammad Sa’id Babsil, seorang ulama yang juga menjadi guru di Masjidil Haram. Babsil yang juga Mufti dari Mazhab Syafi’i merasa iri dan merasa tidak senang melihat non Arab memperoleh tempat mengajar di pusat pengajaran Kota Mekah.
Maka ketika Ahmad Khatib baru mengajar di Masjidil Haram, ia dilempari batu oleh orang suruhan Babsil. Namun Babsil, tidak bisa berbuat lebih dari itu, lantaran Ahmad Khatib mendapatkan perlindungan dari Syarif ‘Aunur Rafiq.
Pembaharu Minangkabau
Meski hingga menghembuskan nafas terakhirnya di Mekah, namun ia juga dapat dikatakan sebagai pembaharu dan penerus kaum Padri di Minangkabau. Melalui kitab yang ditulisnya serta muridnya yang berasal dari Minangkabau Abdullah Ahmad, ia mengkritik kaum Adat yang meski sudah beragama Islam tetapi tetap menerapkan adat yang bertentangan dengan hukum Islam.
Salah satu adat yang diserang Ahmad Khatib adalah hukum waris. Kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Pemahaman dan pendalaman dari Ahmad Khatib ini kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib.
Ahmad Khatib pun memberikan kritik keras terhadap teologi Kristen yang dibawa penjajah Belanda. Dalam kitabnya yang berjudul Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep tuhan yang ambigu.
Selain itu, Ahmad Khatib juga pakar dalam berbagai disiplin ilmu di antaranya ilmu falak, geometri, trigonometri. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.
Lebih dari empat puluh kitab telah ditulisnya. Karya tulisnya pun dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab (setidaknya 26 kitab) dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab (setidaknya 21 kitab).
Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat yang bertentangan dengan Islam, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Alquran & Sunah.
[mediaumat/duniaterkini.com]