Kabar bahwa polisi wanita sudah diperbolehkan menggunakan jilbab, tentunya merupakan angin segar dan membuat tentram hati setiap umat muslim. Namun, ada beberapa sisi kepolisian yang belum diperbolehkan menggunakan jilbab, polantas misalnya.
Sebagai wadah dari para ulama, MUI pun memprotes keras kebijakan tersebut. Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnaen, mengatakan baik polentas ataupun polisi wanita yang berdinas di bidang manapun, harus dibebaskan jika ingin memakai jilbab. “Atas dasar alasan apa mereka dibatasi?” katanya, Senin (11/11).
Polantas wanita, menurutnya punya hak yang sama dengan polisi wanita lainnya. Mereka adalah bagian dari korps kepolisian RI. “Polantas juga harus diberikan izin untuk berjilbab,” kata Tengku.
Ia berkata, Polri wajib memberikan izin dan mendesain jilbab bagi para polwan. Dan hal ini harus dilakukan dengan secepatnya. “Sudah semakin banyak polwan yang tertekan,” ujar Tengku.
Ia mendapatkan laporan bahwa beberapa waktu yang lalu ada seorang polwan yang telah mengenakan jilbab tidak dijinkan masuk kelas untuk mengajar. Hal ini tentunya membuat pihak ulama geram. Kapolri sebelumnya saja sudah memberikan izin tapi ternyata pada tingkat akar rumput, kebijakan ini belum diterapkan.
Untuk itu, Tengku berharap dengan pergantian Kapolri yang baru ini, bisa lebih mempercepat lagi proses transformasi kebijakan institusi internal Polri, terutama untuk masalah izin menggunakan jilbab. “Sutarman harus bisa membuktikan bahwa polisi bisa memperbaiki citra dan bertransformasi menjadi yang lebih baik,” katanya.
Melihat banyaknya kasus asusila yang dilakukan Polri juga banyak kasus lainnya yang memalukan dan menurunkan citra Polri, menurutnya Polri butuh sebuah gebrakan baru yang membuat masyarakat respek dan citranya terangkat kembali. Dengan diputuskannya izin memakai jilbab ini, bisa menjadi salah satu alternatif cara perbaikan citra ini.
Polentas dan polwan lainnya memakai jilbab, menurutnya tidak merugikan siapapun dan tidak melanggar apapun. “Justru jika dilarang memakai jilbab, itu melanggar Pancasila sila pertama dan UUD 1945, karena mengekang ibadah dan kebebasan beragama,” ujar Tengku. [rol/jabode]
Sebagai wadah dari para ulama, MUI pun memprotes keras kebijakan tersebut. Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnaen, mengatakan baik polentas ataupun polisi wanita yang berdinas di bidang manapun, harus dibebaskan jika ingin memakai jilbab. “Atas dasar alasan apa mereka dibatasi?” katanya, Senin (11/11).
Polantas wanita, menurutnya punya hak yang sama dengan polisi wanita lainnya. Mereka adalah bagian dari korps kepolisian RI. “Polantas juga harus diberikan izin untuk berjilbab,” kata Tengku.
Ia berkata, Polri wajib memberikan izin dan mendesain jilbab bagi para polwan. Dan hal ini harus dilakukan dengan secepatnya. “Sudah semakin banyak polwan yang tertekan,” ujar Tengku.
Ia mendapatkan laporan bahwa beberapa waktu yang lalu ada seorang polwan yang telah mengenakan jilbab tidak dijinkan masuk kelas untuk mengajar. Hal ini tentunya membuat pihak ulama geram. Kapolri sebelumnya saja sudah memberikan izin tapi ternyata pada tingkat akar rumput, kebijakan ini belum diterapkan.
Untuk itu, Tengku berharap dengan pergantian Kapolri yang baru ini, bisa lebih mempercepat lagi proses transformasi kebijakan institusi internal Polri, terutama untuk masalah izin menggunakan jilbab. “Sutarman harus bisa membuktikan bahwa polisi bisa memperbaiki citra dan bertransformasi menjadi yang lebih baik,” katanya.
Melihat banyaknya kasus asusila yang dilakukan Polri juga banyak kasus lainnya yang memalukan dan menurunkan citra Polri, menurutnya Polri butuh sebuah gebrakan baru yang membuat masyarakat respek dan citranya terangkat kembali. Dengan diputuskannya izin memakai jilbab ini, bisa menjadi salah satu alternatif cara perbaikan citra ini.
Polentas dan polwan lainnya memakai jilbab, menurutnya tidak merugikan siapapun dan tidak melanggar apapun. “Justru jika dilarang memakai jilbab, itu melanggar Pancasila sila pertama dan UUD 1945, karena mengekang ibadah dan kebebasan beragama,” ujar Tengku. [rol/jabode]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar