TAK berselang lama, umat Islam di seluruh dunia akan segera meninggalkan tahun 1434 Hijriyah dan memasuki tahun baru Islam 1435 Hijriyah. Sistem penanggalan hijriyah dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab yang berlanjut hingga kini. Saat itu, Khalifah Umar menetapkan sistem penanggalan Islam merujuk pada peristiwa hijrah Rasul Muhammad SAW dari Mekkah ke Yastrib (sekarang Madinah) pada 622 Masehi atau 13 tahun setelah diangkat menjadi Rasul.
Dengan demikian, memperingati tahun baru Islam tentu tidak akan pernah lepas dari historis hijrah Rasul SAW. Jika kita renungi secara mendalam, hijrah Rasul SAW dari Mekkah ke Madinah bukan sekedar peristiwa sejarah biasa yang berlalu tanpa makna. Termasuk sikap keliru jika menganggap hijrah Rasul SAW sebagai bentuk keputusasaan dalam menghadapi kerasnya penolakan dakwah Islam oleh masyarakat kafir Quraisy Mekkah. Hijrah Rasul SAW hakikatnya adalah peristiwa fenomenal nan agung yang kental dengan pesan spiritual dan politik.
Dari dimensi spiritual, hijrah merupakan ujian keimanan bagi kaum muslimin untuk senantiasa tunduk terhadap ketentuan Allah dan Rasul NYA dalam segala situasi.
Berbekal keimanan yang kokoh, kaum muslimin dengan ikhlas tanpa beban meninggalkan harta benda dan perniagaan yang melimpah di Kota Mekkah demi memenuhi perintah Rasul SAW untuk berhijrah ke Madinah. Bukan hanya pengorbanan secara materi. Tak sedikit para sahabat yang turut hijrah rela berpisah dengan anggota keluarga tercinta karena dorongan iman semata mata demi meraih keridhoan Allah SWT dan RasulNYA.
Tidak ada ketakutan dan kecemasan dalam diri kaum muslimin mengenai masa depan di tempat yang baru, yaitu kota Madinah. Sebaliknya, keyakinan kaum muslimin atas kebenaran risalah Islam dan pertolongan Allah SWT semakin kuat tanpa keraguan sedikitpun.
Adapun dari dimensi politik, hijrah menjadi tonggak awal bagi tegaknya Islam sebagai sebuah aturan kehidupan dan titik tolak penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia. Dalam kitab Daulah Islam karangan Syekh Taqiyuddin An Nabhani diterangkan bahwa hijrah Rasul SAW menandai tegaknya daulah (negara) dan masyarakat Islam pertama di Madinah. Tegaknya daulah Madinah turut mengukuhkan Rasul Muhammad SAW dalam kapasitas sebagai kepala/pemimpin negara dan tidak hanya sebagai rasul.
Di Madinah, Rasul SAW menjadikan Syariah Islam yang termaktub dalam piagam Madinah menjadi konstitusi dan sumber hukum yang mengikat setiap warga negara baik muslim maupun non muslim. Konsekuensinya, setiap aktivitas masyarakat yang sebelumnya bertumpu pada kebiasaan/adat istiadat nenek moyang terdahulu menjadi tidak berlaku dan selanjutnya hanya merujuk kepada Syariah Islam tanpa terkecuali.
Adapun politik luar negeri yang bertumpu pada dakwah dan jihad, mampu menjadikan risalah Islam mampu tersebar ke berbagai penjuru jazirah Arab dan lintas benua hingga ke nusantara. Setelah futuhat (penaklukan) Mekkah dan sekitarnya, giliran dua negara adidaya saat itu yakni Romawi dan persia berhasil ditaklukan oleh Daulah Islam melalui jihad fisabilillah. Sebuah capaian yang kiranya mustahil dan tak terbayangkan untuk diwujudkan ketika masih dalam fase dakwah di Mekkah.
Cahaya keadilan Islam yang terpancar dari penerapan syariah dalam setiap sendi kehidupan oleh negara telah memikat hati jutaan manusia yang berbondong bondong memeluk risalah mulia ini secara sukarela dan tanpa paksaan. Singkat kata, peristiwa hijrah telah berhasil merubah peta kekuatan dunia dari dominasi kekufuran yang gelap gulita kepada peradaban tauhid yang terang benderang. Dari kebodohan dan penindasan kepada kemajuan dan keadilan bagi semua.
Dalam konteks Indonesia, spirit hijrah menjadi sangat relevan untuk menjawab persoalan krisis multidimensi yang menjerat negeri ini. Sudah lama spiritualitas dinegeri ini tergerus oleh sistem demokrasi sekuler yang mendudukan agama pada lorong lorong sempit kehidupan. Agama kemudian hanya dimaknai sebagai ajaran ritual yang berkutat pada masalah solat, puasa, zakat, haji dan sedikit ranah sosial (nikah talak rujuk waris). Sementara aturan untuk mengatur urusan publik seperti politik pemerintahan, ekonomi, hukum dan sosial sepenuhnya diserahkan kepada hawa nafsu para wakil rakyat yang dinilai sama dengan suara Tuhan. Alhasil, yang muncul adalah kesalehan semu yang justru menjadikan masyarakat semakin sekarat.
Pada satu sisi, masjid ramai dengan jamaah dan pengajian. Begitu juga kuota jemaah haji yang selalu meningkat saban tahun. Tidak ketinggalan para dermawan yang seakan berlomba untuk mengeluarkan zakat dan infaq bagi kaum dhuafa. Namun, pada saat bersamaan praktik korupsi semakin menjadi jadi. Perilaku amoral, pornografi dan pornoaksi serta beragam kemaksiatan lainnya terus tumbuh tanpa mampu di cegah. Keadilan dan kemakmuran hanya berlaku bagi wong licik dan terasa pahit bagi wong cilik. Sudah begitu, para pemimpin seolah menutup mata terhadap petaka yang begitu nyata.
Permasalahan semakin kompleks ketika momentum hijrah mengalami penyempitan makna sebatas seremoni untuk perubahan individu dan perbaikan moralitas semata. Pada akhirnya, negeri ini terjebak pada lingkaran setan yang tak pernah usai. Hidup dalam siklus kebodohan, penindasan dan kemiskinan yang selalu berulang dalam setiap episode kehidupan anak negeri. Merasa merdeka meski sesungguhnya sedang terjajah. Saking sengsaranya, sampai ada intelektual barat yang menyebut Indonesia sebagai “bangsa kuli dan kulinya bangsa lain”. Untuk itu, lewat peringatan tahun baru Islam kali ini sudah saatnya umat Islam berpikir mendalam dan kritis terhadap problematika yang dihadapi saat ini.
Sudah saatnya kita mencontoh sikap para sahabat yang tanpa ragu segera memenuhi seruan Rasul SAW untuk berhijrah ke Madinah. Belum tibakah saatnya bagi kita untuk memenuhi seruan Allah SWT dan Rasul SAW dengan menegakkan Syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyah sebagaimana yang dicontohkan Rasul SAW ketika menegakkah daulah Madinah. Dalam pandangan mukmin sejati, kalau bukan dengan Syariah, lalu dengan apa ? Jika bukan mencontoh Rasul SAW, lalu mencontoh siapa ? Wallahualam. []
Dengan demikian, memperingati tahun baru Islam tentu tidak akan pernah lepas dari historis hijrah Rasul SAW. Jika kita renungi secara mendalam, hijrah Rasul SAW dari Mekkah ke Madinah bukan sekedar peristiwa sejarah biasa yang berlalu tanpa makna. Termasuk sikap keliru jika menganggap hijrah Rasul SAW sebagai bentuk keputusasaan dalam menghadapi kerasnya penolakan dakwah Islam oleh masyarakat kafir Quraisy Mekkah. Hijrah Rasul SAW hakikatnya adalah peristiwa fenomenal nan agung yang kental dengan pesan spiritual dan politik.
Dari dimensi spiritual, hijrah merupakan ujian keimanan bagi kaum muslimin untuk senantiasa tunduk terhadap ketentuan Allah dan Rasul NYA dalam segala situasi.
Berbekal keimanan yang kokoh, kaum muslimin dengan ikhlas tanpa beban meninggalkan harta benda dan perniagaan yang melimpah di Kota Mekkah demi memenuhi perintah Rasul SAW untuk berhijrah ke Madinah. Bukan hanya pengorbanan secara materi. Tak sedikit para sahabat yang turut hijrah rela berpisah dengan anggota keluarga tercinta karena dorongan iman semata mata demi meraih keridhoan Allah SWT dan RasulNYA.
Tidak ada ketakutan dan kecemasan dalam diri kaum muslimin mengenai masa depan di tempat yang baru, yaitu kota Madinah. Sebaliknya, keyakinan kaum muslimin atas kebenaran risalah Islam dan pertolongan Allah SWT semakin kuat tanpa keraguan sedikitpun.
Adapun dari dimensi politik, hijrah menjadi tonggak awal bagi tegaknya Islam sebagai sebuah aturan kehidupan dan titik tolak penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia. Dalam kitab Daulah Islam karangan Syekh Taqiyuddin An Nabhani diterangkan bahwa hijrah Rasul SAW menandai tegaknya daulah (negara) dan masyarakat Islam pertama di Madinah. Tegaknya daulah Madinah turut mengukuhkan Rasul Muhammad SAW dalam kapasitas sebagai kepala/pemimpin negara dan tidak hanya sebagai rasul.
Di Madinah, Rasul SAW menjadikan Syariah Islam yang termaktub dalam piagam Madinah menjadi konstitusi dan sumber hukum yang mengikat setiap warga negara baik muslim maupun non muslim. Konsekuensinya, setiap aktivitas masyarakat yang sebelumnya bertumpu pada kebiasaan/adat istiadat nenek moyang terdahulu menjadi tidak berlaku dan selanjutnya hanya merujuk kepada Syariah Islam tanpa terkecuali.
Adapun politik luar negeri yang bertumpu pada dakwah dan jihad, mampu menjadikan risalah Islam mampu tersebar ke berbagai penjuru jazirah Arab dan lintas benua hingga ke nusantara. Setelah futuhat (penaklukan) Mekkah dan sekitarnya, giliran dua negara adidaya saat itu yakni Romawi dan persia berhasil ditaklukan oleh Daulah Islam melalui jihad fisabilillah. Sebuah capaian yang kiranya mustahil dan tak terbayangkan untuk diwujudkan ketika masih dalam fase dakwah di Mekkah.
Cahaya keadilan Islam yang terpancar dari penerapan syariah dalam setiap sendi kehidupan oleh negara telah memikat hati jutaan manusia yang berbondong bondong memeluk risalah mulia ini secara sukarela dan tanpa paksaan. Singkat kata, peristiwa hijrah telah berhasil merubah peta kekuatan dunia dari dominasi kekufuran yang gelap gulita kepada peradaban tauhid yang terang benderang. Dari kebodohan dan penindasan kepada kemajuan dan keadilan bagi semua.
Dalam konteks Indonesia, spirit hijrah menjadi sangat relevan untuk menjawab persoalan krisis multidimensi yang menjerat negeri ini. Sudah lama spiritualitas dinegeri ini tergerus oleh sistem demokrasi sekuler yang mendudukan agama pada lorong lorong sempit kehidupan. Agama kemudian hanya dimaknai sebagai ajaran ritual yang berkutat pada masalah solat, puasa, zakat, haji dan sedikit ranah sosial (nikah talak rujuk waris). Sementara aturan untuk mengatur urusan publik seperti politik pemerintahan, ekonomi, hukum dan sosial sepenuhnya diserahkan kepada hawa nafsu para wakil rakyat yang dinilai sama dengan suara Tuhan. Alhasil, yang muncul adalah kesalehan semu yang justru menjadikan masyarakat semakin sekarat.
Pada satu sisi, masjid ramai dengan jamaah dan pengajian. Begitu juga kuota jemaah haji yang selalu meningkat saban tahun. Tidak ketinggalan para dermawan yang seakan berlomba untuk mengeluarkan zakat dan infaq bagi kaum dhuafa. Namun, pada saat bersamaan praktik korupsi semakin menjadi jadi. Perilaku amoral, pornografi dan pornoaksi serta beragam kemaksiatan lainnya terus tumbuh tanpa mampu di cegah. Keadilan dan kemakmuran hanya berlaku bagi wong licik dan terasa pahit bagi wong cilik. Sudah begitu, para pemimpin seolah menutup mata terhadap petaka yang begitu nyata.
Permasalahan semakin kompleks ketika momentum hijrah mengalami penyempitan makna sebatas seremoni untuk perubahan individu dan perbaikan moralitas semata. Pada akhirnya, negeri ini terjebak pada lingkaran setan yang tak pernah usai. Hidup dalam siklus kebodohan, penindasan dan kemiskinan yang selalu berulang dalam setiap episode kehidupan anak negeri. Merasa merdeka meski sesungguhnya sedang terjajah. Saking sengsaranya, sampai ada intelektual barat yang menyebut Indonesia sebagai “bangsa kuli dan kulinya bangsa lain”. Untuk itu, lewat peringatan tahun baru Islam kali ini sudah saatnya umat Islam berpikir mendalam dan kritis terhadap problematika yang dihadapi saat ini.
Sudah saatnya kita mencontoh sikap para sahabat yang tanpa ragu segera memenuhi seruan Rasul SAW untuk berhijrah ke Madinah. Belum tibakah saatnya bagi kita untuk memenuhi seruan Allah SWT dan Rasul SAW dengan menegakkan Syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyah sebagaimana yang dicontohkan Rasul SAW ketika menegakkah daulah Madinah. Dalam pandangan mukmin sejati, kalau bukan dengan Syariah, lalu dengan apa ? Jika bukan mencontoh Rasul SAW, lalu mencontoh siapa ? Wallahualam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar