Mahasiswa ITS Surabaya menciptakan "software" untuk alat peringatan dini terjadinya gempa yang menimpa bangunan berstruktur beton dan peringatan itu disebarkan secara cepat lewat SMS (short message service/pesan singkat) kepada masyarakat.
"Software itu tidak hanya mampu mendeteksi gempa lebih awal untuk mengurangi korban Jiwa dan materi, tetapi juga langsung memberikan peringatan cepat kepada masyarakat melalui SMS," kata mahasiswa Jurusan Teknik Sipil ITS Surabaya Robiy Ul Ars Al-Maliki di Surabaya, Jumat.
Ia menceritakan alat yang merupakan karya Tugas Akhir (TA) berjudul "Aplikasi Sistem Peringatan Dini pada Komponen Struktur Beton" itu dibuat untuk bangunan berstruktur beton, seperti gedung atau jembatan.
"Alat itu menggunakan sensor straingauge untuk mendeteksi keretakan beton," katanya saat mendemonstrasikan alatnya di Laboratorium Struktur Jurusan Teknik Sipil ITS Surabaya.
"Sensor straingauge" sendiri merupakan sensor yang digunakan membaca seberapa besar perpindahan yang terjadi pada material bangunan.
"Data yang diterima oleh sensor tersebut akan di-record menggunakan alat yang bernama Data Logger, sebuah alat penghitung kondisi bangunan yang dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya beban," katanya.
Data yang terekam oleh Data Logger tersebut akan otomatis terekam ke software yang dibuatnya itu. "Sofware itu yang akan menentukan antisipasi apa yang harus dilakukan oleh pihak yang berkaitan dengan permasalahan tersebut dan juga masyarakat sekitar," katanya.
Didampingi salah satu dosen yang ikut mengembangkan software itu, Nisfu Asrul Sani SKom MSc, ia mencontohkan di suatu apartemen ada indikasi terjadinya gempa berbahaya, maka akan disampaikan kepada para penghuni apartemen melalui SMS untuk menyelamatkan diri.
"Untuk kepentingan itu, masyarakat yang berada di wilayah terjadinya gempa harus melakukan register untuk mempermudah pengiriman SMS oleh software. Kalau tempat-tempat umum seperti itu pasti sudah ada pendataan, sehingga tidak sulit untuk memprogram nomor handphone siapa saja yang akan dikirimi SMS," katanya.
Untuk jembatan, pesan peringatan langsung dikirim ke pemerintah untuk dapat mengambil kebijakan dengan cepat untuk meminimalkan korban.
"Nantinya, kami juga bekerja sama dengan perusahaan provider untuk menyampaikan pesan peringatan ini," katanya.
Menurut Nisfu Asrul Sani yang merupakan dosen Jurusan Sistem Informasi itu, alat yang digunakan gedung dan jembatan itu berbeda.
"Gedung menggunakan alat sensor yang disebut akselerometer yang harus diletakkan di bagian atas atau atap bangunan, sedangkan jembatan menggunakan Lateral Vertical Displacement Transducer (LVDT) yang dipasang pada besi maupun beton yang tepat di tengah bentang jembatan," katanya.
Posisi pemasangan sensor tersebut memperhitungkan "moment ultimate" (besar perpindahan terbesar) yang terjadi pada benda. "Kalau gedung yang lebih mudah goyah kan bagian tertingginya, karena itu alat dipasang di atap. Kalau jembatan itu titik beratnya ada di tengah, lendutan terbesarnya ada di bagian tengah," katanya.
Robiy menambahkan ide TA itu muncul dari inisiasi dua dosennya, yakni Dr Ir Amien Widodo MS dan Data Iranata PhD. "Dari situ, saya coba eksekusi melalui tugas akhir saya, tapi karena merupakan hasil karya baru, maka alat dan software itu belum memiliki nama," katanya.
Namun, Data Iranata mengungkapkan alat itu akan segera diberi nama untuk dipatenkan. "Untuk sekarang masih tahap uji coba dan penyempurnaan," katanya. [antaranews/duniaterkini.com]
"Software itu tidak hanya mampu mendeteksi gempa lebih awal untuk mengurangi korban Jiwa dan materi, tetapi juga langsung memberikan peringatan cepat kepada masyarakat melalui SMS," kata mahasiswa Jurusan Teknik Sipil ITS Surabaya Robiy Ul Ars Al-Maliki di Surabaya, Jumat.
Ia menceritakan alat yang merupakan karya Tugas Akhir (TA) berjudul "Aplikasi Sistem Peringatan Dini pada Komponen Struktur Beton" itu dibuat untuk bangunan berstruktur beton, seperti gedung atau jembatan.
"Alat itu menggunakan sensor straingauge untuk mendeteksi keretakan beton," katanya saat mendemonstrasikan alatnya di Laboratorium Struktur Jurusan Teknik Sipil ITS Surabaya.
"Sensor straingauge" sendiri merupakan sensor yang digunakan membaca seberapa besar perpindahan yang terjadi pada material bangunan.
"Data yang diterima oleh sensor tersebut akan di-record menggunakan alat yang bernama Data Logger, sebuah alat penghitung kondisi bangunan yang dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya beban," katanya.
Data yang terekam oleh Data Logger tersebut akan otomatis terekam ke software yang dibuatnya itu. "Sofware itu yang akan menentukan antisipasi apa yang harus dilakukan oleh pihak yang berkaitan dengan permasalahan tersebut dan juga masyarakat sekitar," katanya.
Didampingi salah satu dosen yang ikut mengembangkan software itu, Nisfu Asrul Sani SKom MSc, ia mencontohkan di suatu apartemen ada indikasi terjadinya gempa berbahaya, maka akan disampaikan kepada para penghuni apartemen melalui SMS untuk menyelamatkan diri.
"Untuk kepentingan itu, masyarakat yang berada di wilayah terjadinya gempa harus melakukan register untuk mempermudah pengiriman SMS oleh software. Kalau tempat-tempat umum seperti itu pasti sudah ada pendataan, sehingga tidak sulit untuk memprogram nomor handphone siapa saja yang akan dikirimi SMS," katanya.
Untuk jembatan, pesan peringatan langsung dikirim ke pemerintah untuk dapat mengambil kebijakan dengan cepat untuk meminimalkan korban.
"Nantinya, kami juga bekerja sama dengan perusahaan provider untuk menyampaikan pesan peringatan ini," katanya.
Menurut Nisfu Asrul Sani yang merupakan dosen Jurusan Sistem Informasi itu, alat yang digunakan gedung dan jembatan itu berbeda.
"Gedung menggunakan alat sensor yang disebut akselerometer yang harus diletakkan di bagian atas atau atap bangunan, sedangkan jembatan menggunakan Lateral Vertical Displacement Transducer (LVDT) yang dipasang pada besi maupun beton yang tepat di tengah bentang jembatan," katanya.
Posisi pemasangan sensor tersebut memperhitungkan "moment ultimate" (besar perpindahan terbesar) yang terjadi pada benda. "Kalau gedung yang lebih mudah goyah kan bagian tertingginya, karena itu alat dipasang di atap. Kalau jembatan itu titik beratnya ada di tengah, lendutan terbesarnya ada di bagian tengah," katanya.
Robiy menambahkan ide TA itu muncul dari inisiasi dua dosennya, yakni Dr Ir Amien Widodo MS dan Data Iranata PhD. "Dari situ, saya coba eksekusi melalui tugas akhir saya, tapi karena merupakan hasil karya baru, maka alat dan software itu belum memiliki nama," katanya.
Namun, Data Iranata mengungkapkan alat itu akan segera diberi nama untuk dipatenkan. "Untuk sekarang masih tahap uji coba dan penyempurnaan," katanya. [antaranews/duniaterkini.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar