Sepertinya kalau kita ingin memastikan makanan yang kita makan terjamin kehalalannya, maka semua bahan, alat dan cara pengolahannya harus kita kelola sendiri, alias masak sendiri. Sebab, meskipun negeri ini dihuni oleh sebagian besar muslim, tak ada yang benar-benar bisa menjamin, makanan yang beredar di sekitar kita halal.
Tak Ada Jaminan Halal
Sebagai ibu, tentu saya sangat mengkhawatirkan kondisi tersebut. Berita-berita tentang beberapa tempat makan yang ternyata belum bersertifikat halal saya lihat sedang marak diperbincangkan di media. Terus terang saya sendiri belum pernah mengunjungi tempat-tempat tersebut dan menikmati menu yang disediakan. Namun beberapa diantaranya saya kenal keberadaannya karena cukup ramai orang membicarakannya. Berita seperti ini cukup memberikan gambaran bahwa kita sebagai muslim belum mendapatkan keamanan dan jaminan dari manapun untuk bisa mengkonsumsi makanan halal di tempat-tempat publik.
Tempat-tempat makan tersebut mungkin sudah mempunyai nama besar dan bisa jadi konsumen yang meminati makanan yang disajikan sangat banyak, karena itulah sepintas hanya merekalah yang nampaknya bermasalah dalam hal kehalalannya. Tapi, ada banyak rumah makan, restoran, kedai, atau warung-warung kecil lain yang mungkin tidak memiliki nama besar, namun memiliki konsumen yang tidak kalah banyak jumlahnya. Mampukah kita menjamin makanan yang disediakan juga terjamin kehalalannya?
Suatu waktu saya pernah bersama dengan beberapa teman, berkunjung di satu rumah makan yang cukup dikenal di kota kelahiran saya. Saat itu kami memilih rumah makan tersebut dalam satu acara ulang tahun, karena rumah makan itu sangat terkenal enak masakannya. Saat disodorkan menu, alangkah kagetnya saya karena di dalam menu tersebut, ada beberapa jenis masakan yang menggunakan bahan yang haram dikonsumsi oleh muslim, seperti daging babi. Teman lain mengatakan, ‘Ya ga usah pesan masakan yang itu aja. Pesan ayam atau ikan saja kan bisa.’
Miris saya mendengar pernyataan seperti itu. Sebagai muslim tentunya sangat penting kita memahami syariat yang Allah tentukan dalam hidup kita. Dalam hal makanan, Allah memerintahkan muslim untuk hanya memakan makanan yang halal dan thoyib. Perlu dipahami bahwa, kehalalan suatu makanan bukan hanya ditentukan dari bahannya yang diperbolehkan bagi kita untuk memakannya saja. Untuk daging, seperti ayam atau sapi, perlu diperhatikan juga bagaimana cara penyembelihannya. Sementara kondisi lain yang juga harus diperhatikan adalah alat yang digunakan untuk memasaknya apakah bercampur dengan masakan lain yang menggunakan bahan yang diharamkan atau tidak.
Kasus saya yang berada di rumah makan tersebut, jelas saya tidak bisa memastikan bahwa masakan berbahan ayam atau sapi akan diamasak dengan alat yang berbeda dengan masakan berbahan daging babi, kecuali ada surat penjamin seperti sertifikat halal. Karenanya sangat diragukan masakan yang ada didalamnya juga terjamin kehalalannya. Dalam kondisi meragukan seperti itu bukankah kita dianjurkan menjauhi saja? Ini satu contoh kasus yang mungkin tidak terekspos di media, karena saya memang hanya masyarakat biasa dan rumah makan itupun hanya terkenal di kota kecil saja.
Bukan hanya rumah makan dan restoran saja sebenarnya yang bermasalah. Namun jajanan yang biasa dikonsumsi anak-anak pun tidak kalah mengkhawatirkan keadaannya. Dari bahan-bahan pembuatnya sampai bahan tambahan makanannya juga belum jelas kehalalannya. Banyak di antara makanan kecil yang beredar tidak mencantumkan label halal di kemasan. Saya menduga kemungkinan adalah karena produk tersebut diproduksi oleh industri kecil yang hanya beroperasi dengan modal kecil. Jangankan untuk mensertifikasi produknya, bisa jadi untuk mempertahankan usahanya tetap eksis saja mereka harus berjuang sekuat tenaga.
Belum lagi produk-produk kosmetik dan obat-obatan. Kalau tidak bisa dikatakan tidak ada, maka sangat jarang diantaranya yang mencantumkan label halal. Padahal kedua jenis produk ini juga sangat rentan dengan bahan-bahan yang diragukan kehalalannya. Kosmetik misalnya, ada kolagen dan alkohol. Sementara obat-obatan biasanya adanya kandungan alkohol di dalamnya. Sementara ketiga jenis produk tersebut adalah produk massal yang memang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Lalu bagaimana kita bisa merasa aman memanfaatkannya bila jaminan kehalalannya tidak ada?
Ya, mungkin akan ada yang menjawab, ‘Kalau begitu tak usah makan di luar. Masak saja sendiri di rumah’. Untuk sekilas, ini bisa jadi solusi. Namun, bukankah kondisi ini akan sangat menyulitkan ketika kita diharuskan berada di luar rumah bersama keluarga dalam jangka waktu lama dan terpaksa mengkonsumsi makanan di luar rumah? Atau kita tak perlu kemana-mana? Lalu bagaimana kalau sakit dan perlu mengkonsumsi obat? Atau mandi tak perlu pakai sabun mandi, gosok gigi tak perlu pasta gigi dan mencuci rambut tanpa shampoo?
Upaya Pemerintah
Rasanya keadaan seperti ini sangat membutuhkan perhatian yang serius. Semua lapisan masyarakat, baik dari keluarga, masyarakat, dan negara turut berperan mengatasi persoalan ini. Sebagai muslim yang diperintahkan untuk menjaga makanan dari hal-hal yang diharamkan, tentu persoalan ini menjadi sangat mendasar. Sebab makanan dan pemenuhan rasa lapar adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Bagi muslim, halal tidaknya makanan yang dikonsumsi akan mempengaruhi tingkah laku dan kualitas hidupnya di dunia. Dan tentunya bagi saya sebagai ibu, kehalalan makanan bagi buah hati kita adalah hal yang sangat urgen untuk selalu dijaga.
Adanya BPOM sebagai lembaga yang mengaudit makanan yang beredar di Indonesia adalah salah satu upaya pemerintah selama ini untuk mengatasi persoalan kehalalan di Indonesia. Namun keberadaan lembaga tersebut tidak memberikan jaminan halal makanan yang beredar di pasaran. Sebab pemerintah sendiri tidak mewajibkan produsen makanan untuk mendaftarkan produknya, alias perlu adanya kesadaran dari produsen sendiri untuk mensertifikasi produkmya. Belum lagi adanya persoalan pembiayaan audit dan sertifikasi yang semakin memberatkan produsen untuk memperoleh label halal, terutama untuk produsen kelas menengah ke bawah.
Derasnya produk-produk pangan impor juga semakin menambah beratnya persoalan. Produk-produk pangan tersebut banyak yang tidak berlabel halal dan pemerintah sendiri tidak mewajibkan untuk mencantumkan status pangan tersebut boleh dikonsumsi konsumen muslim atau tidak. Jadi boleh dibilang, kita tak bisa juga menyalahkan produsen yang belum mendaftarkan produknya dalam hal kehalalan, sebab pemerintah sendiri tidak memberikan ketegasan tentang status produk pangan di masyarakat.
RUU Jaminan Produk halal
Ramai saat ini diperbincangkan RUU Jaminan Produk Halal, rupanya menjadi salah satu respon dari pemerintah dari keresahan masyarakat terhadap produk halal. Bagi saya, ini adalah satu sinyal positif bahwa pemerintah memperhatikan aspirasi umat Islam. Bila RUU ini disahkan dan diberlakukan, saya pun ingin tahu sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menjalankannya.
Bayangan awam saya, bila pemerintah memang serius memperhatikan permasalahan produk halal di masyarakat, maka akan ada reformasi besar-besaran mulai dari sektor hulu sampai hilir. Untuk produk pangan misalnya, dari mulai pengadaan bahan sampai menjadi produk siap konsumsi semuanya akan mendapatkan penanganan detil yang disesuaikan dengan syariat Islam. Misalnya, para peternak sapi dan ayam akan diberikan training khusus bagaimana beternak yang baik, penyediaan pakan sehingga ternak tidak akan memakan kotoran atau sampah serta bagaiaman penyembelihannya yang sesuai syariat.
Selanjutnya ketika bahan pangan tersebut masuk ke pasar, harus ada penjelasan kepada para pedagang untuk secara jujur menjual bahan tersebut agar tidak bercampur dengan daging babi yang memang diharamkan, hanya untuk alasan mendapatkan untung besar. Bila daging sudah sampai di industri, maka akan ada audit terhadap alat, bahan dan cara pengolahannya, termasuk bahan-bahan tambahan yang dibutuhkan. Selanjutnya akan dikeluarkan sertifikat halal yang memberikan jaminan bahwa produk pangan tersebut halal. Lebih dari itu, mengatasi persoalan produsen yang belum mau mendaftarkan produknya terkait masalah pembiayaan audit dan sertifikasi, berarti pemerintah harus menganggarkan dari APBNnya sehingga produsen bisa mendapatkan label halal untuk produknya secara gratis.
Bila dibayangkan saja, saya merasa persoalan jaminan produk halal ini saja akan menarik sektor-sektor lain untuk turut pula diperbaiki. Menyediakan dana sertifikasi produk halal bagi produsen, tentu membutuhkan reformasi di sektor ekonomi dan keuangan. Sementara pembelajaran bagi petanii dan peternak tentu memerlukan peran serta sektor pertanian.
Harapan Sebagai Anggota Masyarakat
Jaminan produk halal adalah harapan saya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya mewakili masyarakat secara keseluruhan. Namun anggota masyarakat tentu memiliki hak untuk mendapatkan jaminan ini. Sebagai muslim dan sebagai ibu, saya ingin menjaga buah hati saya agar jiwa dan raganya hanya diisi dengan materi-materi yang diperbolehkan syariat saja. Karena hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas generasi yang sedang dipersiapkan.
Persoalan jaminan produk halal bukan persoalan yang bisa diselesaikan hanya dengan dikeluarkannya UU. Tapi lebih jauh, bagaimana peraturan itu akan dilaksanakan dan kesadaran dari semua lapisan masyarakat untuk mentaatinya. Di samping itu persoalan ini sebenarnya adalah salah satu cabang persoalan yang melilit bangsa ini. Sementara bila ditelisik lebih dalam, persoalan dasarnya adalah rusaknya tatanan peraturan kehidupan secara menyeluruh. Bila pemerintah serius ingin mengatasi problem ini secara tuntas maka reformasi di segala sektor sangat diperlukan. Semoga saja pemerintah memang bersungguh-sungguh. [duniaterkini.com]
Penulis: Dwi Indah Lestari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar